KEMITRAAN
SINERGISITAS DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
Arfandi Sade*)
*)Program
Megister Promosi Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Pascasarjana
Universitas Hasanuddin, Penerima Beasiswa Bakri Center Fondation (BCF)
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit kedaruratan global (Global Emergency) yang dicanangkan oleh World Health
Organization (WHO) sejak tahun 1992. Penyakit yang
disebabkan oleh Mycobacterium
Tuberculosis (MTB) merupakan penyakit infeksi dan memiliki risiko
penularan yang mudah, serta acap kali mengakibatkan kematian.
Tingginya kejadian kasus TB di tingkat global, merupakan tantangan untuk
melakukan pengendalian tuberkulosis. Pengendalian TB di tingkatan global, yaitu Stop TB Partnership atau upaya
pemberantasan, mempercepat penurunan angka kematian penyakit TB melalui kemitraan. Stop TB Partnership telah mengembangkan rencana global pengendalian TB tahun 2011-2015 dan
menetapkan target dalam pencapaian Millenium
Development Goals (MDGs).
Selain itu, Stop TB
Partnership juga mempunyai komitmen untuk mencapai target dalam Tujuan
Pembangunan Milenium, seperti yang disebutkan pada tujuan 6, target 8 yaitu “to
have halted and begun to reverse the incidence of TB” pada tahun 2015.
Tujuan tersebut merupakan target pencapaian dalam rangka akselerasi
pengembangan dan penggunaan metode yang lebih baik untuk implementasi
rekomendasi stop TB yang baru
berdasarkan strategi DOTS (Directly
Observed Treatment Short Course) dengan
standar pelayanan mengacu pada International Standard for Tuberculosis Care (ISTC).
Kawasan Asia Tenggara dengan lima dari 22 negara dengan
beban penyakit TB yang tertinggi didunia, 35% dari seluruh kasus TB di dunia
berasal dari wilayah ini, program
pengendalian TB di wilayah ini telah menunjukkan kemajuan dalam upaya penemuan
kasus dan tingkat keberhasilan pengobatan yang telah mencapai target lebih dari
85%. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Myanmar
(Lonnroth, 2007) bahwa dengan private
general practitioners (GPs) membantu masyarakat miskin menjangkau pelayanan
kesehatan yang berkualitas serta mengurangi pengeluaran masyarakat dalam
pengobatan tuberkulosis. Berbeda dengan hasil penelitian Ullah, dkk. (2010)
yang dilakukan di Bangladesh bahwa
terdapat Private Medical Practitioners (PMPs)
yang tidak tahu tentang kebijakan nasional dalam upaya pengendalian
tuberkulosis berdasarkan strategi DOTS, karenanya enggang merujuk pasien TB ke National Tuberculosis Programme (NTP).
Indonesia menempati posisi kelima tertinggi angka kejadian
tuberkulosis. Diestimasikan penderita TB dalam 100.000 penduduk
yaitu; prevalensi TB sekitar 480 kasus, insiden sekitar 226 kasus, TB
positif-HIV sekitar 4-6 kasus dan mortaliti sekitar 38 kasus (WHO, 2011). Kemenkes,
RI (2011) menyebutkan bahwa angka MDR-TB diperkirakan sebesar 2% dari seluruh
kasus TB baru (lebih rendah dari
estimasi di tingkat regional sebesar 4%) dan 20% dari kasus TB dengan
pengobatan ulang.
Berdasarkan jumlah penduduk Provinsi Sulawesi Selatan yang berkisar 8
juta jiwa dan dari jumlah penduduk tersebut terdapat sekitar 6.1550 jiwa yang
suspek tuberkulosis dan di Makassar jumlah penderita tuberkulosis BTA positif
mencapai 1.371 kasus (Dinkes Provinsi Sul-Sel, 2011). Angka tersebut meningkat sekitar
188 kasus dari tahun 2010 (data TB pada bulan Januari-September). Berdasarkan
data Dinas Kesehatan Kota Makassar (2011), case
notifivication rate TB paru mencapai 97 % dan angka penemuan kasus (CDR)
mencapai 52%. Padahal target CDR Nasional yaitu ≥70%. Ditinjau dari kemitraan
yang terlibat adalah pemerintah Kota Makassar, khususnya oleh Dinas Kesehatan
yang menjalin mitra dengan Non Government
Organizations (NGOs) seperti Aisyiyah, Muslimat NU dan Perdhaki. Kemitraan
yang dilakukan tersebut adalah upaya untuk eliminasi tuberkulosis di
Makassar. namun masih rendahnya CDR kota
Makassar dari standar Nasional.
Meskipun memiliki beban penyakit TB yang tinggi, Indonesia merupakan
negara pertama di antara High Burden
Country (HBC) di wilayah WHO South-East
Asian yang mampu mencapai target global TB untuk deteksi kasus dan
keberhasilan pengobatan pada tahun 2006. Pada tahun 2009, tercatat sebanyak
294.732 kasus TB telah ditemukan dan diobati (data awal Mei 2010) dan lebih
dari 169.213 diantaranya terdeteksi BTA positif. Dengan demikian, Case Notification Rate untuk TB BTA
positif adalah 73 per 100.000 (Case
Detection Rate 73%) (Kemenkes RI, 2011). Berikut kurva pencapaian program
pengendalian TB nasional 1995-2009:
Meskipun secara nasional menunjukkan perkembangan yang meningkat dalam
penemuan kasus dan tingkat kesembuhan, pencapaian di tingkat provinsi masih
menunjukkan disparitas antar wilayah. Hanya 5 provinsi menunjukkan pencapaian
CDR (case detection rate) yaitu ≥70%
(Jabar, Sulut, Maluku, DKI Jakarta, Banten) dan 85% kesembuhan. Sebanyak 28
provinsi di Indonesia belum dapat mencapai angka penemuan kasus (CDR) <70%
diantaranya adalah Sulawesi Selatan.
Pencapaian
utama dalam pengendalian TB di Indonesia
pada fase konsolidasi dan implementasi inovasi dalam strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short Course
Strategy). Fase ini ditandai dengan keberhasilan dalam mencapai target
global tingkat deteksi dini dan kesembuhan pada tahun 2006. Selain itu,
berbagai tantangan baru dalam implementasi strategi DOTS muncul pada fase ini.
Tantangan tersebut antara lain penyebaran ko-infeksi TB-HIV, peningkatan
resistensi obat TB, jenis penyedia pelayanan TB yang sangat beragam, kurangnya
pengendalian infeksi TB di fasilitas kesehatan, serta penatalaksanaan TB yang
bervariasi. Mitra baru yang aktif berperan dalam pengendalian TB pada fase ini.
Mitra
TB adalah setiap orang atau kelompok yang memiliki kepedulian, kemauan,
kemampuan dan komitmen yang tinggi untuk memberikan dukungan serta kontribusi
pada pengendalian TB dengan berperan sesuai potensinya. Potensi tersebut
dimanfaatkan secara optimal untuk keberhasilan pengendalian TB. Setiap mitra
harus memiliki pemahaman yang sama akan tujuan kemitraan TB, yakni
terlaksananya upaya percepatan pengendalian TB secara efektif, efisien dan
berkesinambungan (Kemenkes RI, 2011). Kemitraan yang terjalin harus memenuhi
prinsip kemitraan yaitu persamaan (equity),
keterbukaan (transparency) dan saling
menguntungkan (mutual benefit).
Hasil
analisa Eilbert (2003) menunjukkan bahwa kemitraan sebagai strategi untuk meningkatkan kesehatan,
serta mengidentifikasi hambatan lingkungan dan strategi yang tepat untuk derajat kesehatan masyarakat. Salah
satu bentuk kemitraan pengendalian tuberkulosis adalah kemitraan sinergisitas (synergistic partnership). Kemitraan yang
saling bekerjasama, memberikan dorongan guna tercapainya indikator TB membaik.
Upaya sinergisitas yang terbentuk adalah saling koordinasi (coordination), kemenyuluruhan (comprehensiveness), dan keberlanjutan (continuity) dalam penemuan kasus
tuberkulosis serta pengurangan risiko (risk
mitigation) terhadap kejadian TB.
Berbagai
bentuk kemitraan dengan LSM telah ada sejak lama, meskipun baru pada tahun 2002
terbentuk kemitraan formal antara pemerintah pusat dan NGO/LSM melalui Gerdunas
dan CCM (Country Coordinating Mechanism)
GF ATM pada tahun 2003. Meskipun demikian, koordinasi (coordination) dan kerjasama antara pemerintah dan NGO/LSM di daerah
masih terbatas (Kemenkes, 2011). Sesuai dengan peraturan menteri kesehatan
nomor 565/Menkes/Per/III/2011 tentang strategi nasional
pengendalian tuberkulosis tahun 2011-2014, pasal 3 bahwa dalam melaksanakan
tanggung jawabnya, Pemerintah berperan untuk (f) koordinasi dan kemitraan
kegiatan pengendalian tuberkulosis dengan institusi terkait. Sejalan dengan
penelitian Samson (2011) bahwa keberhasilan pengobatan TB di Swaziland mencapai 42% pada tahun 2006 ini dikarenakan
tidak adanya koordinasi antara mitra pengendalian TB.
Sinergisitas dalam kemenyeluruhan (comprehensiveness) penemuan kasus serta
pengawasan minum obat sangat mendukung program pengendalian TB. Hasil
penelitian McLoughlin, dkk (2011) di Afrika Selatan, bahwa dengan kemenyeluruhan
dalam menyediakan akses layanan kesehatan dalam penemuan kasus diperlukan hal
ini dibuktikan dengan cakupan HCT (HIV
counselling and testing) sebanyak 67%,
ibu hamil HIV positif sebanyak 91%, ART sebanyak 78%.
Kemitraan
pengendalian tuberkulosis perlu diupayakan keberlanjutannya (continuity). Hasil Penelitian Fahrudda
(2012) bahwa keberlanjutan (continuity)
kemitraan pengendalian tuberkulosis
perlu dijaga komitmen yang tinggi dari para anggota yaitu kesepakatan
melaksanakan penemuan penderita suspek TB. Selanjutnya dibuat kesepakatan usaha
peningkatan penghasilan pengurus dan anggota melalui usaha kecil dan menengah
(UKM) disamping mengajak pihak swasta atau donator yang tidak terikat. Hal
senada juga ditemukan oleh Sheikh (2006) bahwa kemitraan publik-swasta dapat meningkatkan
keberlanjutan (continuity) perawatan untuk pasien dengan TB. Untuk itu, diperlukan upaya advokasi, komunikasi dan mobilisasi sosial
(AKMS) dalam upaya pengendalian tuberkulosis. Hal tersebut juga dipertegas oleh
Haq (2012) bahwa perlu upaya AKMS untuk implementasi strategi DOTS pengendalian
TB. Berbeda dengan hasil penelitian Hary (2011) bahwa upaya AKMS yang dilakukan
belum mengacu pada rencana aksi nasional
Selain itu, diperlukan kemitraan untuk melakukan pengurangan risiko (risk mitigation) kejadian TB. Hasil
penelitian Newel, dkk. (2004) menjelaskan bahwa kombinasi kekuatan dari sektor
swasta, Non Government Organization (NGO)
atau lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan sektor pemerintah dalam public-private
partnership dapat digunakan untuk menyediakan layanan yang menyenangkan
bagi penderita TB serta meningkatkan keberhasilan pengobatan. Selain
itu, kemitraan oleh berbagai pihak terkait, telah meningkatkan kesuksesan penanganan TB hingga
mencapai 90%. Meskipun demikian, tuberkulosis adalah
penyakit yang sering kali disebabkan oleh kemiskinan sehingga jika tidak
menjangkau masyarakat yang paling miskin di antara masyarakat miskin, dan
memfokuskan pada pendidikan dan pencegahan (Kemenkes, 2011).
Indonesia
telah menunjukkan berbagai perkembangan dalam menghadapi tantangan baru program
pengendalian TB (Kemenkes, 2011), diantaranya adalah:
1) Keterlibatan
pihak pemangku kepentingan utama, seperti halnya Organisasi berbasis Masyarakat
yang besar seperti Muhamadiyah, NU, Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan di
Kementerian Kesehatan, organisasi-organisasi profesi di bawah Ikatan Dokter
Indonesia, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dll;
2) Peningkatan
jumlah rumah sakit yang melaksanakan strategi DOTS secara signifikan dan
peningkatan notifikasi kasus dari rumah
sakit;
3) Keberlangsungan
sumber daya yang memadai untuk mengatasi kesenjangan dalam pembiayaan
pengendalian TB melalui dukungan lembaga donor dan pemerintah setempat; dan
Oleh karena itu, pentingnya
bermitra dan bersinergis dalam pengendalian Tuberkulosis. Dengan keterlibatan
multisektoral maka pelaksanaan deteksi kasus, pengobatan, pengawasan penyakit
Tuberkusis akan lebih bisa teratasi, dan tentunya dengan komitmen yang tulus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA