A.
PENDAHULUAN
Pembangunan
kesehatan sebagai salah satu upaya pembangunan nasional diarahkan guna
tercapainya kesadaran, kemauan, dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap
penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Dan kesehatan
yang demikian yang menjadi dambaan setiap orang sepanjang hidupnya. Tetapi
datangnya penyakit merupakan hal yang tidak bisa ditolak meskipun kadang
-kadang bisa dicegah atau dihindari.
Konsep
sehat dan sakit
sesungguhnya tidak terlalu mutlak dan universal karena ada
faktor -faktor lain di luar kenyataan klinis yang mempengaruhinya terutama
faktor social budaya. Kedua pengertian saling mempengaruhi dan pengertian yang
satu hanya dapat dipahami dalam konteks pengertian yang lain.
Banyak
ahli filsafat, biologi, antropologi, sosiologi, kedokteran, dan lain-lain
bidang ilmu pengetahuan telah mencoba memberikan pengertian tentang konsep
sehat dan sakit ditinjau dari masing-masing disiplin ilmu. Masalah sehat dan
sakit merupakan proses yang berkaitan dengan kemampuan atau ketidakmampuan
manusia beradap -tasi dengan lingkungan baik secara biologis, psikologis maupun
sosio budaya (1). UU No.23,1992 tentang Kesehatan menyatakan bahwa: Kesehatan
adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan
hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Dalam pengertian ini maka
kesehatan harus dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh terdiri dari
unsur–unsur fisik, mental dan sosial dan di dalamnya kesehatan jiwa merupakan
bagian integral kesehatan.
Menurut (world
Helath Organization) WHO, kesehatan adalah kondisi dinamis meliputi
kesehatan jasmani, rohani, sosial, dan tidak hanya terbebas dari penyakit,
cacat, dan kelemahan.
Definisi
sakit: seseorang dikatakan sakit apabila ia menderita penyakit menahun
(kronis), atau gangguan kesehatan lain yang menyebabkan aktivitas
kerja/kegiatannya terganggu.
Walaupun
seseorang sakit (istilah sehari -hari) seperti masuk angin, pilek, tetapi bila
ia tidak terganggu untuk melaksanakan kegiatannya, maka ia di anggap tidak
sakit.
Masalah
kesehatan merupakan masalah kompleks yang merupakan resultante dari
berbagai masalah lingkungan yang bersifat alamiah maupun masalah buatan
manusia, social budaya, perilaku, populasi penduduk, g enetika, dan sebagainya.
Derajat
kesehatan masyarakat yang disebut sebagai psycho socio somatic
health well being , merupakan resultante dari 4 faktor(3)yaitu:
1.
Environment atau lingkungan.
2.
Behaviour atau perilaku, Antara yang pertama dan kedua d ihubungkan dengan ecological
balance.
3.
Heredity atau keturunan yang dipengaruhi oleh populasi, distribusi
penduduk, dan sebagainya.
4.
Health care service berupa program kesehatan yang bersifat preventif, promotif,
kuratif, dan rehabilitatif.
Dari
empat faktor tersebut di atas, lingkungan dan perilaku merupakan faktor
yang paling besar pengaruhnya (dominan) terhadap tinggi rendahnya
derajat kesehatan masyarakat. Tingkah laku sakit, peranan sakit dan
peranan pasien sangat dipengaruhi oleh faktor -faktor seperti kelas sosial,
perbedaan suku bangsa dan budaya. Maka ancaman kesehatan yang sama
(yang ditentukan secara klinis), bergantung dari variabel-variabel
tersebut dapat menimbulkan reaksi yang berbeda di kalangan pasien.
Pengertian
sakit menurut etiologi naturalistik dapat dijelaskan dari segi
impersonal dan sistematik, yaitu bahwa sakit merupakan satu keadaan atau
satu hal yang disebabkan oleh gangguan terhadap sistem tubuh manusia.
Pernyataan
tentang pengetahuan ini dalam tradisi klasik Yunani, India, Cina,
menunjukkan model keseimbangan (equilibrium model) seseorang
dianggap sehat apabila unsur - unsur utama yaitu panas dingin dalam
tubuhnya berada dalam keadaan yang seimbang. Unsur-unsur utama ini
tercakup dalam konsep tentang humors, ayurveda dosha, yin dan yang.
Departemen
Kesehatan RI telah mencanangkan kebijakan baru berdasarkan paradigma
sehat. Paradigma sehat adalah cara pandang atau pola pikir
pembangunan kesehatan yang bersifat holistik, proaktif antisipatif,
dengan melihat masalah kesehatan sebagai masalah yang dipengaruhi
oleh banyak faktor secara dinamis dan lintas sektoral, dalam suatu wilayah
yang berorientasi kepada peningkatan pemeliharaan dan perlindungan terhadap
penduduk agar tetap sehat dan bukan hanya penyembuhan penduduk yang
sakit.
Pada
intinya paradigma sehat memberikan perhatian utama terhadap kebijakan
yang bersifat pencegahan dan promosi kesehatan, memberikan dukungan dan
alokasi sumber daya untuk menjaga agar yang sehat tetap sehat namun teta
p mengupayakan yang sakit segera sehat. Pada prinsipnya kebijakan
tersebut menekankan pada masyarakat untuk mengutamakan kegiatan kesehatan
daripada mengobati penyakit.
Telah
dikembangkan pengertian tentang penyakit yang mempunyai konotasi
biomedik dan sosio cultural. Dalam bahasa Inggris dikenal kata disease
dan illness sedangkan dalam bahasa Indonesia, kedua
pengertian itu dinamakan penyakit. Dilihat dari segi sosio cultural terdapat
perbedaan besar antara kedua pengertian tersebut. Dengan disease dimaksudkan
gangguan fungsi atau adaptasi dari proses-proses biologik dan
psikofisiologik pada seorang individu, dengan illness dimaksud
reaksi personal, interpersonal, dan kultural terhadap penyakit atau
perasaan kurang nyaman.
Para
dokter mendiagnosis dan mengobati disease, sedangkan pasien
mengalami illness yang dapat disebabkan oleh disease illness tidak
selalu disertai kelainan organic maupun fungsional tubuh.
B.
PEMBAHASAN
1.
Perspektif Usia Dalam Konteks
Sehat dan Sakit
Umur atau usia adalah
satuan waktu
yang mengukur waktu keberadaan suatu benda atau makhluk,
baik yang hidup maupun yang mati. Usia manusia adalah
waktu hidup di dunia yang digunakan untuk beraktifitas sebagai makhluk social.
Dalam keberadaanya, manusia di hadapkan oleh factor usia. Factor usia tersebut
yang juga membedakan tingkat kekuatan fisik tanpa terkecuali adalah kesehatan
itu sendiri.
Ada beberapa jenis perhitungan usia
manusia yaitu:
a.
Usia kronologis adalah usia
yang dimulai dari saat kelahiran seseorang sampai dengan waktu penghitungan
usia. Pada periode usia ini manusia melakukan berbagai aktifitas.
b.
Usia mental adalah perhitungan
usia yang didapatkan dari taraf kemampuan mental seseorang. Misalkan seorang
anak secara kronologis berusia empat tahun akan tetapi masih merangkak dan belum dapat berbicara
dengan kalimat lengkap dan menunjukkan kemampuan yang setara dengan anak
berusia satu
tahun, maka dinyatakan bahwa usia mental anak tersebut adalah satu tahun.
c.
Usia biologis adalah perhitungan
usia berdasarkan kematangan biologis yang dimiliki oleh seseorang.
Sigmund
Freud adalah dokter muda dari Wina mengemukaakan gagasan bahawa kesadaran itu
hanyalah sebagian kecil saja dari kehidupan mental, sedangkan bagian
terbesarnya adalah justru kesadaran atau alam tak sadaryang diibaratkan sebagai
gunung es yang terapung dimana bagian yang muncul dipermukaan air (alam sadar)
yang lebih kecil daripada bagian yang tenggelam (alam tak sadar). Menurut hukum
kelangsungan ,energi bisa berubah dari suatu keadaan atau bentuk kekeadaan yang
lainnya tetapi tidak akan hilang dari sistem komik secara keseluruhan , Freud
mengajukan gagasannya bahwa energi fisik bisa diubah menjadi energi psikis dan
sebaliknya adapun yang menjembatani energi fisik dengan kepribadian adalah
(kepribadian yang paling dasar) dengan naluri naluri.
Freud
adalah teoritisi pertama yang memusatkan perhatiannya kepada perkembangn
kepribadian dan menekankan pentingnya peran masa bayi dan awal-anak dalam
membentuk karakter seseorang. Freud yakin bahwa struktur dasar kepribadian
sudah terbentuk pada usia 5 tahun dan perkembangan kepribadian sesudah usia 5
tahun sebagian besar hanya merupakn elborasi dari struktur dasar tadi. Anehnya, Freud jarang sekali meneliti anak
secara langsung. Dia mendasari teorinya dari analisis mengeksplorasi jia pasien
antara lain dengan mengembalikan mereka ke pengalaman masa kanak-kanaknya.
Freud membagi perkembangan kepribadian menjadi 3
tahapan yakni tahap infatil (0 - 5 tahun), tahap laten (5 - 12 than) dan tahap
genital (> 12 tahun). Tahap infatil yang faling menentukan dalam membentuk
kepribadin, terbagi menjadi 3 fase, yakni fase oral, fase anal, dan fase falis.
Perkembangan kepribadian ditentukan oleh perkembangan insting seks, yang
terkait dengan perkembangan bilogis, sehingga tahp ini disebut juga tahap
seksual infatil. Perkembangan insting seks berarti perubahan kateksis seks dan
perkembangan bilogis menyiapkan bagian tubuh untuk dipilh menjadi pusat
kepuasan seksul (arogenus) zone). Pemberian nama fase-fase perkembangan infatil
sesuai dengan bagian tubuh – daerah erogen – yang menjadi kateksis seksual pada
fase itu. Pada tahap laten, impuls seksual mengalami represi, perhatian anak
banyak tercurah kepada pengembangan kognitif dan keterampilan. Aru sesudah itu,
secara bilogis terjadi perkembangan puberts yang membangunkan impuls seksual
dari represinya untuk berkembang mencapai kemasakan. Pada
umumnya kemasakan kepribadian dapat dicapi pada usia 20 tahun.
a. Fase Oral (usia 0 – 1 tahun)
Pada fase ini mulut merupakan daerah pokok
aktivitas dinamik atau daerah kepuasan seksual yang dipilih oleh insting
seksual. Makan/minum menjadi sumber kenikmatannya. Kenikmatan atau kepuasan
diperoleh dari ransangan terhadap bibir-rongga mulut-kerongkongan, tingkah laku
menggigit dan menguyah (sesudah gigi tumbuh), serta menelan dan memuntahkan
makanan (kalau makanan tidak memuaskan). Kenikmatan yang diperoleh dari
aktivitas menyuap/menelan (oral incorforation) dan menggigit (oral agression) dipandang
sebagai prototip dari bermacam sifat pada masa yang akan datang.
Kepuasan yang berlebihan pada masa oral akan
membentuk oran incorporation personality pada masa dewasa, yakni orang menjadi
senang/fiksasi mengumpulkan pengetahuan atau mengumpulkan harta benda, atau
gampang ditipu (mudah menelan perkataan orang lain0. Sebaliknya, ketidakpuasan
pada fase oral, sesudah dwasa orang menjadi tidak pernah puas, tamak (memakan
apa saja) dalam mengumpulkan harta.
Oral
agression personality ditandai oleh kesenangan
berdebat dan sikap sarkatik, bersumber dari sikap protes bayi (menggigit)
terhadap perlakuan ibunya dalam menyusui. Mulut sebagai daerah erogen, terbawa
sampai dewasa dalam bentuk yang lebih bervariasi, mulai dari menguyah permen
karet, menggigit pensil, senang makan, menisap rokok, menggunjing orang lain,
sampai berkata-kata kotor/sarkastik. Tahap ini secara khusus ditandai oleh berkembangnya perasaan
ketergantungan, mendapat perindungan dari orang lain, khususnya ibu. Perasaan
tergantung ini pada tingkat tertentu tetap ada dalam diri setiap orang, muncul
kapan saja ketika orang merasa cemas dan tidak aman pada masa yang akan datang.
b. Fase Anal (usia 1 – 3 tahun)
Pada fase ini dubur merupakan daerah pokok
ktivitas dinamik, kateksis dan anti kateksis berpusat pada fungsi eliminer
(pembuangankotoran). Mengeluarkan
faces menghilangkan perasaan tekanan yang tidak menyenangkan dari akumulasi
sisa makanan. Sepanjang tahap anal, ltihan defakasi (toilet training) memaksa
nak untuk belajar menunda kepuasan bebas dari tegangan anal. Freud yakin toilet
training adalah bentuk mulaidari belajar memuaskan id dan superego sekaligus,
kebutuhan id dalam bentuk kenikmatan sesudah defakasi dan kebutuhan superego
dalam bentuk hambatan sosial atau tuntutan sosial untuk mengontrol kebutuhan
defakasi. Semua hambatan bentuk kontrol diri (self control) dan penguasaan diri
(self mastery).
Berasal dari fase
anal, dampak toilet training terhadap kepribadian di masa depan tergantung
kepada sikap dan metode orang tua dalam melatih. Misalnya, jika ibu terlalu
keras, anak akan menahan facesnya dan mengalami sembelit. Ini adalah prototip
tingkahlaku keras kepala dan kikir (anal retentiveness personality). Sebaliknya
ibu yang membiarkan anak tanpa toilet training, akan membuat anak bebas
melampiaskan tegangannya dengan mengelurkan kotoran di tempat dan waktu yang
tidak tepat, yang di masa mendatang muncul sebagai sifat
ketidakteraturan/jorok, deskruktif, semaunya sendiri, atau kekerasa/kekejaman
(anal exspulsiveness personality). Apabila ibu bersifat membimbing dengan kasih
sayang (dan pujian kalau anak defakasi secara teratur), anak mendapat
pengertian bahwa mengeluarkan faces adalah aktivitas yang penting, prototif
dari, sifat kreatif dan produktif.
c.
Fase Fhalis (usia 3 –
5/6 tahun)
Pada fase ini alat
kelamin merupakan daerah erogen terpenting. Mastrubasi menimbulkan kenikmatan
yang besar. Pada saat yang sama terjadi peningkatan gairah seksual anak kepada
orang tuanya yang mengawali berbagai perganian kateksis obyek yang penting.
Perkembangan terpenting pada masa ini adalah timbulnya Oedipus complex, yang
diikuti fenomena castration anxiey (pada laki-laki) dan penis envy (pada
perempuan).
Odipus kompleks
adalah kateksis obyek kepada orang tua yang berlawanan jenis serta permusuhan
terhadap orang tua sejenis. Anak laki-laki ingin memiliki ibunya dan
menyingkirkan ayahnya; sebaliknya anak perempuan ingin memilki ayahnya dan
menyingkirkan ibunya.
Pada mulanya, anak
(laki dan perempuan) sama-sama mencintai ibuny yang telah memenuhi kebutuhan mereka
dan memandang ayah sebagai saingan dalam merebut kasih sayang ibu. Pada anak
laki-laki, persaingan dengan ayah berakibat anak cemas kalau-kalau ayah memakai
kekuasaannya untuk memenangkan persaingan merebut ibunya. Dia cemas penisnya
akan dipotong oleh ayahnya. Gejala ini disebut cemas dikebiri atau
castrationanxiety. Kecemasan inilah yang kemudian mendorong laki-laki
mengidentifikasi iri dengan ayahnya. Identifikasi ini
mempunyai beberpa manfaat :
a.
Anak secara tidak langsung
memperoleh kepuasan impuls seksual kepada ibunya, seperti kepuasan ayahnya.
b.
Perasaan erotik kepada ibu
9yang berbahaya) diubah menjadi sikap menurut/sayang kepada ibu.
c.
Identifikasi kemudian menjadi
sarana tepenting untuk mengembangkan superego adalah warisan dari oedipus
complex.
d.
Identifikasi
menjadi ritual akhir dari odipus kompleks, yang sesudah itu ditekan(repressed)
ke ketidaksadaran.
Pada anak
perempuan, rasa sayang kepada ibu segera berubah menjadi kecewa dan benci
sesudah mengetahui kelaminnya berbeda dengan anak laki-laki. Ibuya dianggap
bertanggung jawab tergadap kastrasi kela innya, sehingga anak perempuan itu
mentransfer cintanya kepada ayahnya yang memiliki organ berharga (yang juga
ingin dimilikinya). Tetapi
perasaan cinta itu bercampur dengan perasan iri penis (penis elvy) baik kepada
ayah maupun kepada laki-laki secara umum. Tidak seperti pada laki-laki,
odipuskompleks pada wanita tidak direpres, cinta kepada ayah tetap menetap
walaupun mengalami modifikasi karena hambatan realistik pemuasan seksual itu
sendiri. Perbedaan hakekat odipus kompleks pada laki-laki dan wanita ini
(disebut oleh pakar psikoanalisis pengikut freud : electra complex) merupakan
dasar dari perbedaan psikologik di antara pria dan wanita. Electra complex
menjadi reda ketika gadis menyerah tidak lagi mengembangkan seksual kepad
ayahnya, dan mengidentifikasikan diri kembali kepada ibunya. Proses peredaan ini berjalan lebih lambat
dibanding pada anak laki-laki dan juga kurang total atau sempurna. Enerji untuk
mengembangkan superego adalah enerji yang semula dipakai dalam proses odipus.
Penyerahan enerji yang lamban pada wanita membuat superego wanita lebih
lemah/lunak, lebih fleksibel, dibanding superego laki-laki. Perbadinganantara odipus kompleks laki-laki dan perempuan,
diikhtisarkan pada tabel berikut:
Anak Laki-laki
Identifikasi/mencintai ibu
Benci ayah yang menjadi saingan
Cemas dikebiri
Identiikasi kepada ayah
Oedipus berhenti seketika
Superego berkembang kuat
|
Anak Laki-laki
Identifikasi/mencintai ibu
Fenis envy
Benci ibu – cinta kepada ayah
Identiikasi kepada ibu
Oedipus kompleks berhenti secara teratur
Superego
berkembang lemah
|
Ikhtisar Oedips Compleks pada anak-anak laki-laki dan perempuan
d.
Fase Latent
(usia 5/6 – 12/13 tahun)
Dari usia 5 atau 6 tahun sampai remaja, anak mngalami periode
perbedaan impuls seksual, disebut periode laten. Menurut Freud, penurunan minat
seksual itu akibat dari tidak adanya daerah erogen baru yang dimunculkan oleh
perkembangan biologis. Jadi
fase laten lebih sebagai fenomena biologis, alih-lih bgian dari perkembangan
psikoseksual. Pada fase laten ini anak mengembangkan kemampuan sublimasi, yakni
mengganti kepuasanlibido dengan kepuasan nonseksual, khususnya bidang
intelektual, atletik, keterampilan dan hubungan teman sebaya. Fase laten juga
ditandai dengan percepatan pembentukan super ego; orang tua bekerjasama dengan
anak berusaha merepres impuls seks agar enerji dapat dimanfaatkan
sebesar-besarnya untuk sublimasi dan pembentukan superego. Anak menadi lebih mudah mmpelajari sesuatu dibandingkan dengan masa
sebelum da sesudahnya (masa pubertas).
e.
Fase Genikal (usia 12/13 –
dewasa)
Fase ini dimulai dengan perubahan biokimia dan fisiologi dalam diri
remaja. Sistem endoktrin memproduksi hormon-hormon yang memicu pertumbuhan
tanda-tanda seksual sekunder (suara, rambut, buah dada, dll) dan pertumbuhan
tandasesual primer. Impuls
pregenital bangun kembali dan membawa aktivitas dinamis yang harus diadaptasi,
untuk mencapai perkembangan kepribadian yang stabl. Pada fase falis, kateksis
genital mempunyai sifat narkistik; individu mempunyai kepuasan dari
perangsangan dan manipulasi tubuhnya sendiri, dan orang lain diingkan hanya
karena memberikan bentuk-bentuk tambahan dari kenikmatan jasmaniah. Pada fase
genital, impuls seks itu mulai disalurkan ke obyek di luar, seperti;
berpartisipasi dalam kegiatan kelompok, menyiapkan karir, cinta lain jenis,
perkawinan dan keluarga. Terjadi
perubahan dari anak yang narkistik menjadi dewasa yang berorientasi sosial,
realistik dan altruistik.
Fase genital berlanjut sampai orang tutup
usia, dimana puncak perkembangan seksual dicapai ketika orang dewasa mengalami
kemasakan kepibadian. Ini ditandai dengan kemasaka tanggung jawab seksual
sekaligus tanggung jawab sosial, mengalami kepuasan melalui hubungan cinta
heteroseksual tanpa diikuti dengan perasaan berdosa atau perasaan bersalah.
Pemasan impuls libido melalui hubungan seksual memungkinkan kontrol fisiologis
terhadap impuls genital itu; sehinggaakan membebaskan begitu banyak enerji
psikis yang semula dipakai untuk mengontrol libido, merepres perasaan berdosa,
dan dipakai dalam konflik antara id-ego-superego dalam menagani libido itu.
Enerji itulah yang kemudian dipakai untuk aktif menangani masalah-masalah
kehidupan dewasa; belajar bekerja, menunda kepuasan, menjadi lebih bertanggung
jawab. Penyaluran kebutuhan insting ke obyek di luar yang altruistik itu telah
menjadi cukup stabil, dalam bentuk kebiasaan-kebiasaan melakukan
pemindahan-pemindahan,sublimasi-sublimasi dan identifikasi-identifikasi.
Berikut beberapa gambaran tingkah laku dewasa yang masak, ditinjau dari
dinamika kepribadian Freud :
1)
Menunda
kepuasan : dilakukan karena obyek pemuas yang belum tersedia, tetapi lebih
sebagai upaya memperoleh tingkat kepuasan yang lebih besar pada masa yang akan
datang.
2)
Tanggung
jawab : kontrol tingkah laku dilakukan oleh superego berlangsung efektif, tidak
lagi harus mendapat bantuan kontrol dari lingkungan.
3)
Pemindahan/sulimasi
: mengganti kepuasan seksual menjadi kepuasan dalam bidang seni, budaya dan keindahan.
4)
Identifikasi
memiliki tujuan-tujuan kelompok, terlibat dalam organisasi sosial, politi dan
kehidupan sosial yang harmonis.
Perkembangan kepribadian menurut pandangan Carl Gustav Jung lebih lengkap dibandingkan dengan Freud. Jung beranggapan bahwa semua
peristiwa disebabkan oleh sesuatu yang terjadi di masa lalu (mekanistik) dan
kejadian sekarang ditentukan oleh tujuan (purpose). Prinsip mekanistik akan
membuat manusia menjadi sengsara karena terpenjara oleh masa lalu. Manusia
tidak bebas menentukan tujuan atau membuat rencana karena masa lalu tidak dapat
diubah. Sebaliknya, prinsip purposif memubat orang mempunyai perasan penuh
harapan, ada sesuatu yang membuat orang berjuang dan bekerja. Dari keduanya
dapat diambil sisi positifnya, kegagalan di masa lalu bukan dijadikan beban
tapi dijadikan pengalaman yang kemudian digunakan sebagai stimuli untuk belajar
lebih baik dari kegagalan tersebut. Terlepas dari kegagalan seseorang harus
memiliki angan, impian dan harapan, hal inilah yang kemudian mengarahkan pada
tujuan yang akan diraih di masa mendatang.
Tahap-tahap perkembangan menurut Jung terdiri atas
4 tahap. Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.
Usia
anak (Childhood). Usia anak dibagi menjadi 3 tahap, yakni anarkis pada anak
kesadaran masaih kacau pada usia 0 – 6 tahun, tahap monarkis yakni anak
ditandai dengan perkembangan ego, mulai berfikir verbal dan logika pada usia 6
– 8 tahun, tahap dualistik yakni anak dapat berfikir secara obyektif dan
subyektif terjadi pada usia 8 – 12 tahun.
b.
Usia
Pemuda. Pemuda berjuang untuk mandiri secara fisik dan psikis dari orangtuanya.
c.
Usia
Pertengahan. Ditandai dengan aktualisasi diri, biasanya sudah dapat
menyesuaikan diri dengan lingkungannya, memiliki pekerjaan, kawin, punya anak
dan ikut dalam kegiatan sosial.
d.
Usia Tua. Fungsi jiwa sebagian
besar bekerja secara tak sadar, fikiran dan kesadaran ego mulai tenggelam.
2.
Konsep Sehat Sakit
Menurut Budaya Masyarakat
Istilah sehat mengandung banyak muatan kultural, social dan
pengertian profesional yang beragam. Dulu dari sudut pandangan
kedokteran, sehat sangat erat kaitannya dengan kesakitan dan penyakit.
Dalam kenyataannya tidaklah seseder - hana itu, sehat harus dilihat dari
berbagai aspek. WHO melihat sehat dari berbagai aspek.
Definisi WHO (1981): Health is a state of complete
physical, mental and social well -being, and not merely the
absence of disease or infirmity. WHO mendefinisikan pengertian sehat
sebagai suatu keadaan sempurna baik jasmani, rohani, maupun
kesejahteraan social seseorang. Sebatas mana seseorang dapat dianggap
sempurna jasmaninya ?
Oleh para ahli kesehatan, antropologi kesehatan di pandangsebagai disiplin biobudaya yang memberi
perhatian pada aspek-aspek biologis dan sosial budaya dari tingkah laku
manusia, terutama tentang cara-cara interaksi antara keduanya sepanjang
sejarah kehidupan manusia yang mempengaruhi kesehatan dan penyakit.
Penyakit sendiri ditentukan oleh budaya: hal ini karena penyakit merupakan pengakuan
sosial bahwa seseorang tidak dapat menjalankan peran normalnya secara
wajar.
Cara hidup dan gaya hidup manusia merupakan fenomena yang
dapat dikaitkan dengan munculnya berbagai macam penyakit, selain itu
hasil berbagai kebudayaan juga dapat menimbulkan penyakit. Masyarakat
dan pengobat tradisional menganut dua konsep penyebab sakit, yaitu: Naturalistik dan Personalistik.
Penyebab bersifat Naturalistik yaitu seseorang menderita
sakit akibat pengaruh lingkungan, makanan (salah makan), ke - biasaan
hidup, ketidak seimbangan dalam tubu h, termasuk juga kepercayaan panas
dingin seperti masuk angin dan penyakit
bawaan. Konsep sehat sakit yang dianut pengobat tradisional (Battra) sama dengan yang dianut
masyarakat setempat, yakni suatu
keadaan yang berhubungan dengan keadaan badan atau kondisi tubuh kelainan-kelainan serta gejala yang dirasakan. Sehat bagi seseorang berarti suatu
keadaan yang normal, wajar,
nyaman, dan dapat melakukan aktivitas sehari –hari dengan gairah.
Sedangkan sakit dianggap sebagai suatu keadaan badan yang kurang menyenangkan, bahkan
dirasakan sebagai siksaan sehingga
menyebabkan seseorang tidak dapat menjalankan aktivitas sehari-hari seperti halnya orang yang sehat.
Sedangkan konsep Personalistik
menganggap munculnya penyakit (illness) disebabkan oleh
intervensi suatu agen aktif yang dapat berupa makhluk bukan manusia (hantu,
roh, leluhur atau roh jahat), atau makhluk manusia (tukang sihir, tukang tenung).
3.
Perspektif Etnis Dalam Konsep Sehat dan Sakit
Menelusuri nilai budaya, misalnya mengenai pengenalan kusta dan cara
perawatannya. Kusta telah dik enal oleh etnik Makasar sejak lama. Adanya
istilah kaddala sikuyu (kusta kepiting) dan kaddala massolong (kusta
yang lumer), merupakan ungkapan yang mendukung bahwa kusta secara endemik telah
berada dalam waktu yang lama di tengah-tengah masyarakat tersebut.
Hasil penelitian kualitatif dan kuantitatif atas nilai - nilai
budaya di Kabupaten Soppeng, dalam kaitannya dengan penyakit kusta (Kaddala,Bgs.)
di masyarakat Bugis menunjukkan bahwa timbul dan diamalkannya leprophobia secara
ketat karena menurut salah seorang tokoh budaya, dalam nasehat perkawinan
orang-orang tua di sana, kata kaddala ikut tercakup di dalamnya.
Disebutkan bahwa bila terjadi pelanggaran melakukan hubungan intim
saat istri sedang haid, mereka (kedua mempelai) akan terkutuk dan menderita
kusta/kaddala. Ide yang bertujuan guna terciptanya moral yang agung di keluarga
baru, berkembang menuruti proses komunikasi dalam masyarakat dan menjadi konsep
penderita kusta sebagai penanggung dosa. Pengertian penderita sebagai akibat
dosa dari ibu-bapak merupakan awal derita akibat leprophobia.
Rasa rendah diri penderita dimulai dari rasa rendah diri keluarga
yang merasa tercemar bila salah seorang anggota keluarganya menderita kusta.
Dituduh berbuat dosa melakukan hubungan intim saat istri sedang haid bagi
seorang fanatic Islam dirasakan sebagai beban trauma psikosomatik yang sangat
berat.
Orang tua, keluarga sangat menolak anaknya didiagnosis kusta. Pada
penelitian Penggunaan Pelayanan Kesehatan Di Propinsi Kalimantan Timur dan Nusa
Tenggara Barat (1990), hasil diskusi kelompok di Kalimantan Timur menunjukkan bahwa
anak dinyatakan sakit jika menangis terus, badan berkeringat, tidak mau makan,
tidak mau tidur, rewel, kurus kering. Bagi orang dewasa, seseorang dinyatakan
sakit kala sudah tidak bisa bekerja, tidak bisa berjalan, tidak enak badan,
panas dingin, pusing, lemas, kurang darah, batuk - batuk, mual, diare.
Sedangkan hasil diskusi kelompok di Nusa Tenggara Barat menunjukkan
bahwa anak sakit dilihat dari keadaan fisik tubuh dan tingkah lakunya yaitu
jika menunjukkan gejala misalnya panas, batuk pilek, mencret, muntah -muntah,
gatal, luka, gigi bengkak, badan kuning, kaki dan perut bengkak.
Seorang pengobat tradisional yang juga menerima pandangan kedokteran
modern, mempunyai pengetahuan yang menarik mengenai masalah sakit-sehat.
Baginya, arti sakit adalah sebagai berikut: sakit badaniah berarti ada tanda - tanda
penyakit di badannya seperti panas tinggi, penglihatan lemah, tidak kuat
bekerja, sulit makan, tidur tergan ggu, dan badan lemah atau sakit, maunya
tiduran atau istirahat saja.Pada penyakit batin tidak ada tanda -tanda di
badannya, tetapi bisa diketahui dengan menanyakan pada yang gaib.
Pada orang yang sehat, gerakannya lincah, kuat bekerja, suhu badan
normal, makan dan tidur normal, penglihatan terang, sorot mata cerah, tidak
mengeluh lesu, lemah, atau sakit - sakit badan.
Sudarti (1987) menggambarkan secara deskriptif persepsi masyarakat
beberapa daerah di Indonesia mengenai sakit dan penyakit; masyarakat menganggap
bahwa sakit adalah keadaan individu mengalami serangkaian gangguan fisik yang
menim - bulkan rasa tidak nyaman. Anak yang sakit ditandai dengan tingkah laku
rewel, sering menangis dan tidak nafsu makan. Orang dewasa dianggap sakit jika
lesu, tidak dapat bekerja, kehilangan nafsu makan, atau "kantong
kering" (tidak punya uang).
Selanjutnya masyarakat menggolongkan penyebab sakit ke dalam 3
bagian yaitu :
a. Karena pengaruh gejala alam (panas, dingin) terhadap tubuh manusia
b. Makanan yang diklasifikasikan ke dalam makanan panas dan dingin.
c. Supranatural (roh, guna-guna, setan dan lain-lain.).
Untuk mengobati sakit yang termasuk
dalam golongan pertama dan ke dua, dapat digunakan obat -obatan, ramuanramuan, pijat,
kerok, pantangan m akan, dan bantuan tenaga kesehatan. Untuk penyebab sakit
yang ke tiga harus dimintakan bantuan dukun, kyai dan lain-lain. Dengan demikian
upaya penanggulangannya tergantung kepada kepercayaan mereka terhadap penyebab
sakit.
Beberapa contoh penyakit pada bayi
dan anak sebagai berikut :
a.
Sakit demam dan panas: Penyebabnya
adalah perubahan cuaca, kena hujan, salah makan, atau masuk angin.
Pengobatannya adalah dengan cara mengompres dengan es, oyong, labu putih yang
dingin atau beli obat influensa. Di Indramayu dikatakan penyakit adem meskipun
gejalanya panas tinggi, supaya panasnya turun.
b.
Penyakit tampek (campak)
disebut juga sakit adem karena gejalanya badan panas.
c.
Sakit mencret (diare): Penyebabnya
adalah salah makan, makan kacang terlalu banyak, makan makanan pedas, makan
udang, ikan, anak meningkat kepandaiannya, susu ibu basi, encer, dan lain - lain.
Penanggulangannya dengan obat
tradisional misalkan dengan pucuk daun jambu dikunyah ibunya lalu diberikan
kepada anaknya (Bima Nusa Tenggara Barat) obat lainnya adalah Larutan Gula
Garam (LGG), Oralit, pil Ciba dan lain -lain.
Larutan Gula Garam sudah dikenal hanya proporsi campuran - nya tidak
tepat.
d.
Sakit kejang-kejang: Masyarakat
pada umumnya menyatakan bahwa sakit panas dan kejang-kejang disebabkan oleh
hantu. Di Sukabumi disebut hantu gegep, sedangkan di Sumatra Barat disebabkan
hantu jahat. Di Indramayu pengobatannya adalah dengan dengan pergi ke dukun
atau memasukkan bayi ke bawah tempat tidur yang ditutupi jaring.
e.
Sakit tampek (campak): Penyebabnya
adalah karena anak terkena panas dalam, anak dimandikan saat panas terik, atau
kesambet. Di Indramayu ibu-ibu mengobatinya dengan membalur anak dengan asam kawak,
meminumkan madu dan jeruk nipis atau memberikan daun suwuk, yang menurut
kepercayaan dapat mengisap penyakit.
a.
Kejadian Penyakit
Penyakit merupakan suatu fenomena
kompleks yang berpengaruh negatif terhadap kehidupan manusia. Perilaku dan cara
hidup manusia dapat merupakan penyebab bermacam - macam penyakit baik di zaman primitif
maupun di masyarakat yang sudah sangat maju peradaban dan kebudayaannya.
Ditinjau dari segi biologis penyakit
merupakan kelainan berbagai organ tubuh manusia, sedangkan dari segi kemasya - rakatan
keadaan sakit dianggap sebagai peny impangan perilaku dari keadaan sosial yang
normatif. Penyimpangan itu dapat disebabkan oleh kelainan biomedis organ tubuh
atau lingkungan manusia, tetapi juga dapat disebabkan oleh kelainan emosional
dan psikososial individu bersangkutan.
Faktor emosional dan psikososial ini
pada dasarnya merupakan akibat dari lingkungan hidup atau ekosistem manusia dan
adat kebiasaan manusia atau kebudayaan.
Konsep kejadian penyakit menurut
ilmu kesehatan bergantung jenis penyakit. Secara umum konsepsi ini ditentukan oleh
berbagai faktor antara lain parasit, vektor, manusia dan lingkungannya.
Para ahli antropologi kesehatan yang
dari definisinya dapat disebutkan berorientasi ke ekologi, menaruh perhatian
pada hubungan timbal balik antara manusia dan lingkungan alamnya, tingkah laku
penyakitnya dan cara -cara tingkah laku penyakitnya mempengaruhi evolusi
kebudayaannya melalui proses umpan balik (Foster, Anderson, 1978).
Penyakit dapat dipandang sebagai
suatu unsur dalam lingkungan manusia, seperti tampak pada ciri sel-sabit (sickle-cell)
di kalangan penduduk Afrika Barat, suatu perubahan evolusi yang adaptif, yang
memberikan imunitas relatif terhadap malaria. Ciri sel sabit sama sekali bukan
ancaman, bahkan merupakan karakteristik yang diing inkan karena memberikan proteksi
yang tinggi terhadap gigitan nyamuk Anopheles.
Bagi masyarakat Dani di Papua,
penyakit dapat merupakan simbol sosial
positif, yang diberi nilai -nilai tertentu. Etiologi penyakit dapat dijelaskan
melalui sihir, tetapi juga sebagai akibat dosa. Simbol sosial juga dapat
merupakan sumber penyakit. Dalam peradaban modern, keterkaitan antara simbol-simbol
sosial dan risiko kesehatan sering tampak jelas, misalnya remaja merokok.
Suatu kajian hubungan antara
psikiatri dan ant ropologi dalam konteks perubahan sosial ditulis oleh Rudi
Salan (1994) berdasarkan pengalaman sendiri sebagai psikiater; salah satu kasusnya
sebagai berikut: Seorang perempuan yang sudah cukup umur reumatiknya diobati
hanya dengan vitamin dan minyak ikan saja dan percaya penyakitnya akan sembuh.
Menurut pasien penyakitnya
disebabkan karena "darah kotor" oleh karena itu satu-satunya jalan
penyembuhan adalah dengan makan makanan yang bersih , yaitu `mutih' (ditambah
vitamin seperlunya agar tidak kekurang an vitamin) sampai darahnya menjadi bersih
kembali. Bagi seorang dokter pendapat itu tidak masuk akal, tetapi begitulah
kenyataan yang ada dalam masyarakat.
b.
Perilaku Sehat Dan
Perilaku Sakit
Perilaku sakit diartikan sebagai
segala bentuk tin dakan yang dilakukan oleh individu yang sedang sakit agar mem
peroleh kesembuhan, sedangkan perilaku sehat adalah tindakan yang dilakukan
individu untuk memelihara dan meningkatkan kesehatannya, termasuk pencegahan
penyakit, perawatan kebersihan diri, penjagaan kebugaran melalui olah raga dan
makanan bergizi.
Perilaku sehat diperlihatkan oleh
individu yang merasa dirinya sehat meskipun secara medis belum tentu mereka
betul-betul sehat. Sesuai dengan persepsi tentang sakit dan penyakit maka
perilaku sakit dan perilaku sehat pun subyektif sifatnya. Persepsi masyarakat
tentang sehat dan sakit ini sangatlah dipengaruhi oleh unsur pengalaman masa lalu
di samping unsur sosial budaya. Sebaliknya petugas kesehatan berusaha sedapat
mungkin menerapkan kreter ia medis yang obyektif berdasarkan gejala yang tampak
guna mendiagnosis kondisi fisik individu.
c.
Persepsi Masyarakat
Persepsi masyarakat mengenai
terjadinya penyakit berbeda antara daerah yang satu dengan daerah yang lain,
karena tergantung dari kebudayaan yang ada dan berkembang dalam masyarakat
tersebut. Persepsi kejadian penyakit yang berlainan dengan ilmu kesehatan
sampai saat ini masih ada di masyarakat; dapat turun dari satu generasi ke
generasi berikutnya dan bahkan dapat berkembang luas.
Berikut ini contoh persepsi
masyarakat tentang penyakit malaria, yang saat ini masih ada di beberapa daerah
pedesaan di Papua (Irian Jaya). Makanan pokok penduduk Papua adalah sagu yang
tumbuh di daerah rawa-rawa. Selain rawa-rawa, tidak jauh dari mereka tinggal
terdapat hutan lebat.
Penduduk desa tersebut beranggapan bahwa
hutan itu milik penguasa gaib yang dapat menghukum setiap orang yang melanggar
ketentuannya.
Pelanggaran dapat berupa menebang,
membabat hutan untuk tanah pertanian, dan lain-lain akan diganjar hukuman
berupa penyakit dengan gejala demam tinggi, menggigil, dan muntah. Penyakit
tersebut dapat sembuh dengan cara minta ampun kepada penguasa hutan, kemudian memetik
daun dari pohon tertentu, dibuat ramuan untuk di minum dan dioleskan ke seluruh
tubuh penderita.
Dalam beberapa hari penderita akan
sembuh. Persepsi masyarakat mengenai penyakit diperoleh dan ditentukan dari
penuturan sederhana dan mudah secara turun temurun. Misalnya penyakit akibat
kutukan Allah, makhluk gaib, roh-roh jahat, udara busuk, tanaman berbisa,
binatang, dan sebagainya.
Pada sebagian penduduk Pulau Jawa,
dulu penderita demam sangat tinggi diobati dengan cara menyiram air di malam
hari. Air yang telah diberi ramuan dan jampi-jampi oleh dukun dan pemuka
masyarakat yang disegani digunakan sebagai obat malaria.
C. Kesimpulan
Cara dan gaya hidup manusia, adat
istiadat, kebudayaan, kepercayaan bahkan seluruh peradaban manusia dan ling - kungannya
berpengaruh terhadap penyakit. Secara fisiologis dan biologis tubuh manusia
selalu berinteraksi dengan lingkungannya.
Manusia mempunyai daya adaptasi
terhadap lingkungan yang selalu berubah, yang sering membawa serta penyakit
baru yang belum dikenal atau perkembangan/perubahan penyakit yang sudah ada. Kajian
mengenai konsekuensi kesehatan perlu memperhatikan konteks budaya dan sosial
masyarakat .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA