1.
Pengertian Politik, Politik Kesehatan serta 5 Contoh Politik Kesehatan
a. Pengertian Politik
Politik berasal dari bahasa Belanda politiek
dan bahasa Inggris politics, yang masing-masing bersumber dari bahasa
Yunani (politika - yang berhubungan dengan negara) dengan akar katanya (polites
- warga negara) dan (polis - negara kota).
Secara
etimologis, politik berasal dari kata Yunani polis yang berarti kota atau
negara kota. Kemudian arti itu berkembang menjadi polites yang berarti
warganegara, politeia yang berarti semua yang berhubungan dengan negara,
politika yang berarti pemerintahan negara dan politikos yang berarti
kewarganegaraan.
Dalam
bahasa Indonesia, Secara umum politik mempunyai dua arti, yaitu politik
dalam arti kepentingan umum (politics) dan politik dalam arti kebijakan
(policy). Politik dalam arti politics adalah rangkaian asas/prinsip, keadaan,
jalan, cara atau alat yag akan digunakan untuk mencapai tujuan. Sedangkan
politik dalam arti policy adalah penggunaan pertimbangan tertentu yang dapat
menjamin terlaksananya usaha untuk mewujudkan keinginan atau cita-cita yang
dikehendaki. Policy merupakan cara pelaksanaan asas, jalan, dan arah tersebut
sebaik-baiknya.Politics dan policy mempunyai hubungan yang erat dan timbal
balik.
Politik
adalah proses
pembentukan dan pembagian kekuasaan
dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan
keputusan, khususnya
dalam negara.
Di
samping itu politik juga dapat ditilik dari sudut pandang berbeda, yaitu antara
lain:
1.
Politik
adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles)
2.
Politik
adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara
3.
Politik
merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan
kekuasaan di masyarakat
Dalam konteks memahami politik perlu dipahami
beberapa kunci, antara lain: kekuasaan politik, legitimasi, sistem politik, perilaku
politik, partisipasi politik, proses politik.
Kemudian, menurut beberapa pakar politik, Ilmu
Politik adalah :
1. Soelaiman Soemardi Ilmu politik sebagai suatu ilmu
pengetahuan kemasyarakatan, mempelajari masalah kekuasaan dalam masyarakat,
sifat hakikatnya, luas lingkupnya, dasar landasannya serta hasil akibatnya.
2. George B de Huszer dan Thomas H. Stevenson Ilmu
politik ialah lapangan studi yang pertama-pertama memperhatikan hubungan
kekuasaan antara orang dengan orang, antara orang dengan negara, dan antara
negara dan negara.
3. Ossip K. Fechtheim Ilmu politik adalah ilmu sosial
yang khusus mempelajari sifat dan tujuan dari negera, sejauh mana negara
merupakan organisasi kekuasaan , dan sifat serta tujuan daripada gejala kekuasaan
lain yang tidak resmi yang dapat mempengaruhi negara. Ilmu yang kekuasaan
politik dan tuajan politik mempengaruhi satu sama lain dan saling
tergantung satu sama lain.
4. J. K. Blintschli Ilmu politik ialah ilmu yang
bersangkutan dengan negara, yang berusaha untuk mengerti dan memahami negara
dalam keadaannya, dalam sifat essensialnya, macam-macam bentuk dan
manifestasinya dan perkembanganya.
5. Conley H. Dillon, Carl Leiden dan Paul D. Stewart
Ilmu politik merupakan salah satu cabang dari ilmu sosial yang mempelajari
usaha manusia untuk memerintah dirinya sendiri, untuk menciptakan pemerintahan
dan negara dan untuk mengendalikan nasib sosialnya yaitu nasibnya dalam hidup
bermasyarakat, ilmu politik juga mempelajari sifat yang abstrak dari negara dan
lembaga-lembaga politik lainnya.
Pada umumnya dapat dikatakan bahwa politik
(politics) adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik (atau
negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan
melaksanakan tujuan-tujuan itu. Pengambilan keputusan (decision making)
mengenai apakah yang menjadi tujuan dari sistem politik itu menyangkut seleksi
terhadap beberapa alternatif dan penyusunan skala prioritas dari tujuan-tujuan
yang telah dipilih. Sedangkan untuk melaksanakan tujuan-tujuan itu perlu
ditentukan kebijakan-kebijakan umum (public policies) yang menyangkut
pengaturan dan pembagian (distribution) atau alokasi (allocation) dari
sumber-sumber (resources) yang ada.
Untuk bisa berperan aktif melaksanakan
kebijakan-kebijakan itu, perlu dimiliki kekuasaan (power) dan kewenangan
(authority) yang akan digunakan baik untuk membina kerjasama maupun untuk
menyelesaikan konflik yang mungkin timbul dalam proses itu. Cara-cara yang
digunakan dapat bersifat meyakinkan (persuasive) dan jika perlu bersifat
paksaan (coercion). Tanpa unsur paksaan, kebijakan itu hanya merupakan
perumusan keinginan (statement of intent) belaka.
Politik merupakan upaya atau cara untuk memperoleh
sesuatu yang dikehendaki. Namun banyak pula yang beranggapan bahwa politik
tidak hanya berkisar di lingkungan kekuasaan negara atau tindakan-tindakan yang
dilaksanakan oleh penguasa negara. Dalam beberapa aspek kehidupan, manusia
sering melakukan tindakan politik, baik politik dagang, budaya, sosial, maupun
dalam aspek kehidupan lainnya. Demikianlah politik selalu menyangkut
tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public goals) dan bukan tujuan pribadi
seseorang (private goals). Politik menyangkut kegiatan berbagai kelompok,
termasuk partai politik dan kegiatan-kegiatan perseorangan (individu).
Dengan demikian, politik membicarakan hal-hal yang
berkaitan dengan negara, kekuasaan, pengambilan keputusan, kebijakan (policy),
dan distribusi atau alokasi sumber daya.
1) Negara
2) Kekuasaaan
3) Pengambilan Keputusan
4) Kebijakan Umum
5) Distribusi
b. Politik Kesehatan
Politik
Kesehatan adalah Ilmu dan seni untuk memperjuangkan derajat kesehatan
masyarakat dalam satu wilayah melalui sebuah sistem ketatanegaraan yang dianut
dalam sebuah wilayah atau negara untuk menciptakan masyarakat dan lingkungan sehat
secara keseluruhan. Untuk meraih tujuan tersebut diperlukan kekuasaan. Dengan
kekuasaan yang dimiliki, maka akan melahirkan kebijakan yang pro rakyat untuk
menjamin derajat kesehatan masyarakat itu sendiri.
Kebijakan
pemerintah dapat terwujud dalam dua bentuk. Pertama,
peraturan pemerintah dalam bidang kesehatan meliputi Undang-Undang, Peraturan
Presiden, keputusan menteri, peraturan daerah, baik tingkat provinsi maupun
kabupaten kota, dan peraturan lainnya. Kedua,
kebijakan pemerintah dalam bentuk program adalah segala aktifitas pemerintah
baik yang terencana maupun yang insidentil dan semuanya bermuara pada
peningkatan kesehatan masyarakat, menjaga lingkungan dan masyarakat agar tetap
sehat dan sejahtera, baik fisik, jiwa, maupun sosial.
Bambra et
al (2005) dan Fahmi Umar (2008) mengemukakan mengapa kesehatan itu adalah
politik, karena dalam bidang kesehatan adanya disparitas derajat kesehatan
masyarakat, dimana sebagian menikmati kesehatan sebagian tidak. Oleh sebab itu,
untuk memenuhi equity atau keadilan harus diperjuangkan.
Kesehatan
adalah bagian dari Politik karena derajat kesehatan atau masalah kesehatan
ditentukan oleh kebijakan yang dapat diarahkan atau mengikuti kehendak
(amenable) terhadap intervensi kebijakan politik. Kesehatan bagian dari politik
karena kesehatan adalah Hak Asasi manusia.
Oleh
karena itu, untuk menciptakan kesehatan masyarakat yang prima maka dibutuhkan
berbagai peraturan yang menjadi pedoman bagi petugas kesehatan dan masyarakat
luas, sehingga suasana dan lingkungan sehat selalu tercipta. Di samping itu
pemerintah harus membuat program yang dapat menjadi stimulus bagi anggota
masyarakat untuk menciptakan lingkungan dan masyarakat sehat, baik jasmani,
rohanio, rohani, sosial serta memampukan
masyarakat hidup produktif secara sosial ekonomi.
c.
Contoh Politik Kesehatan
1.
Karena
sehat merupakan hak rakyat dan negara pun tak ingin rakyatnya sakit-sakitan,
diambillah keputusan politik yang juga sehat. Yaitu, anggaran untuk kesehatan
rakyat mendapatkan porsi yang sangat besar, karena negara tidak ingin rakyatnya
sakit-sakitan. Pemerintah bersama DPR. Membebani impor alat-alat kedokteran
dengan pajak yang sama untuk impor mobil mewah, juga keputusan politik.
2.
UU
Tembakau; Cukei rokok terus dinaikkan karena konsumsi rokok di Indonesia
semakin meningkat.
Biaya ekonomi dan sosial yang
ditimbulkan akibat konsumsi tembakau terus meningkat dan beban peningkatan ini
sebagian besar ditanggung oleh masyarakat miskin. Angka kerugian akibat rokok
setiap tahun mencapai 200 juta dolar Amerika, sedangkan angka kematian akibat
penyakit yang diakibatkan merokok terus meningkat. Di Indonesia, jumlah biaya
konsumsi tembakau tahun 2005 yang meliputi biaya langsung di tingkat rumah
tangga dan biaya tidak langsung karena hilangnya produktifitas akibat kematian
dini, sakit dan kecacatan adalah US $ 18,5 Milyar atau Rp 167,1 Triliun. Jumlah tersebut adalah
sekitar 5 kali lipat lebih tinggi dari pemasukan cukai sebesar Rp 32,6 Triliun
atau US$ 3,62 Milyar tahun 2005 (1US$ = Rp 8.500,-).
3.
Perda
Kawasan Tanpa Rokok
Penerapan kawasan tanpa
rokok melindungi hak bukan perokok untuk menghirup udara yang bersih dan sehat,
bebas dari asap rokok. Larangan merokok perlu diterapkan di tempat-tempat umum,
tempat kerja dan transportasi umum. Penerapan Kawasan Tanpa Rokok tidak saja
untuk memenuhi hak bukan perokok untuk menghirup udara bersih dan sehat, namun
juga membantu perokok untuk dapat menahan / menunda kebiasaan merokoknya dan
sebagai langkah awal perokok untuk berhenti merokok. Penerapan Kawasan Tanpa
Rokok juga semakin menyadarkan banyak orang akan bahaya adiktif rokok dan
mengembalikan norma untuk tidak merokok di tempat umum, utamanya diruangan
tertutup.
4.
Program
Pembatasan Waktu Iklan Rokok
Larangan iklan secara
menyeluruh merupakan upaya untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat
khususnya anak-anak dan remaja.
Anak-anak dan remaja merupakan sasaran utama produsen rokok. Diakui oleh
industri rokok bahwa anak-anak dan remaja merupakan aset bagi keberlangsungan
industri rokok. Untuk itu kebijakan larangan iklan rokok secara menyeluruh
harus diterapkan untuk melindungi anak dan remaja dari pencitraan produk
tembakau yang menyesatkan.
Pelarangan iklan rokok
menyeluruh (total ban) mencakup iklan, promosi dan sponsorship yang meliputi
pelarangan (1) iklan, baik langsung maupun tidak langsung di semua media massa;
(2) promosi dalam berbagai bentuk, misalnya potongan harga, hadiah, peningkatan
citra perusahaan dengan menggunakan nama merek atau perusahaan dan (3)
sponsorship dalam bentuk pemberian beasiswa, pemberian bantuan untuk bidang
pendidikan, kebudayaan, olah raga, lingkungan hidup, dll.
5.
Program Kesehatan Gratis di Sulawesi Selatan
a.
Pergub
No. 13 Tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Kesehatan Gratis serta
Petunjuk Teknis
b.
Pergub
No. 15 Tahun 2008 tentang Regionalisasi Sistem Rujukan Rumah Sakit serta
Petunjuk Teknis
c.
PERDA
No. 2 Tahun 2009 tentang Kerjasama Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Gratis
di Provinsi Sulawesi Selatan.
Kesehatan
gratis merupakan politik kesehatan untuk membangun animo masyarakat agar
partisipasi berobat di pelayanan kesehatan meningkat.
2. Macam
Artikulasi Kepentingan
Artikulasi
kepentingan
adalah cara masyarakat mengemukakan kepentingannya kepada partai politik, dan
lembaga pemerintah yang berwenang membuat keputusan atau kebijakan yang terkait
dengan hajat hidupnya. Artikulasi kepentingan biasanya dilakukan dengan
membentuk kelompok kepentingan (interset
group). Artinya, anggota masyarakat akan membentuk kelompok
berdasarkan kesamaan kepentingan tuntutan untuk kesejahteraan dirinya.
Menurut Haryanto, 1982 bahwa artikulasi
kepentingan ada yang “manifest” atau
“latent”, “specific” atau “diffuse”,
“general” atau “particular”, ''instrumental”
atau “affective”. Pasangan-pasangan
dari karakter tersebut menunjukkan cara yang dijalankan oleh berbagai macam
kelompok kepentingan dalam menyatakan tuntutan-tuntutannya.
Macam
artikulasi
kepentingan sebagai berikut:
a.
Artkulasi
Kepentingan yang manifest atau latent
Artikulasi
kepentingan secara manifest merupakan
artikulasi kepentingan melalui tututan berbagai kebutuhan melalui wakil rakyat secara
jelas dan terbuka. Misalnya kenaikan harga BBM, karena kebanyakan masyarakat
tidak menginginkan kenaikan tersebut atas pertimbangan akan membuat harga
kebutuhan pokok juga akan naik. Sehingga dilakukan demonstrasi pada saat rapat
penentuan kenaikan harga BBM. dalam kondisi seperti ini kepentingannya jelas
dan terbuka.
Sedangkan artikulasi kepentingan secara latent
adalah penyampaian tututan secara
tersamarkan. Misalnya pembagian proyek di Dewan legislatif, biasanya ada
kepentingan seputar fee atau berapa
yang didapatkan dalam menerima suatu proyek. Dalam setiap orang atau anggota
dewan bahkan bisa jadi fraksi yang bermain dalam pembagian keuntungan sepihak.
Karena ini tuntutan kepentingan ini hanya bahagian sehingga penyampaiannya
secara tersamarkan atau bisa jadi disembunyikan.
b.
Artikulasi
Kepentingan yang specific atau diffuse
Artikulasi yang disampaikan secara
khusus atau spesifik seperti tuntutan pengahpusan subsidi BBM kepada
perusahaan, industri karena justru bukan masyarakat miskin yang menikmati
subsidi BBM melainkan yang punya modal. tuntutan mengenai pembatasan subsidi
BBM itu hanya berlaku khusus untuk industri atau perusahaan yang pendapatannya
sudah besar.
Sedangkan artikulasi yang disampaikan
secara diffuse yaitu tuntutan masyarakat untuk meraih suatu tingkatan baru
dalam tertib politiknya. “The state of equilibrium” antara aturan dan
perubahan ini kemudian menjadi sesuatu yang critical dalam
mendeterminasikan kondisi politik di banyak masyarakat transisional pada
berbagai peristiwa khusus. Biasanya tuntutan disampaikan kalau kita
menginginkan perubahan, seperti reformasi, bubarkan PKI, dan lain-lain.
c.
Artikulasi
Kepentingan yang general atau particular
Kepentingan masyarakat juga dapat
disampaikan secara umum maupun secara particular. Kepentingan secara umum
misalnya tuntutan kepada orang-orang kaya
untuk dikenakan pajak yang tinggi. Jadi kepentingan atau tuntutan yang di
partikulasikan atau dinyatakan secara umum ini menunjukan kepada tuntutan orang
banyak atau sekelompok besar warga masyarakat.
Sedangkan kepentingan yang disampaikan
secara partikular adalah mengenai
kepentingan atau tuntutan yang dinyatakan secara khusus adalah tuntutan
seseorang tertentu atau suatu keluarga tertentu untuk diberikan pengecualian
yang menyangkut masalah pengaturan imigrasi. Jadi ini dapatlah dinyatakan
menunjukan kepada kepentingan atau tuntutan perseorangan atau kelompok kecil
tertentu saja. Selain tingkat kekhususan gaya daripada artikulasi kepentingan
ini juga dapat dibedakan menurut sifat dari kepentingan-kepentingan atau
tuntutan-tuntutan.
d.
Artikulasi
Kepentingan yang instrumental atau affective
Bentuk artikulasi yang terakhir adalah
yang dinyatakan dengan instrumental maupun afective. Artikulasi secara
instrumental dapat mengambil bentuk suatu persetujuan atau bargain dengan segala macam konsekwensinya. Misalnya UU BPJS,
nantinya penyelenggaran jaminan sosial akan diubah menjadi Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial. Kesehatan seluruh masyarakat Indonesia akan menggunakan prinsip
subsidi silang sehingga tidak ada alasan lagi masyarakat tidak berobat karena
faktor dana. Dengan disahkannya UU BPJS ini maka tadinya multi asuransi
kesehatan akan menjadi satu. Dan yang menjadi artikulasi kepentingan
instrumentalnya adalah UU BPJS.
Sedangkan artikulasi secara affective dapat mengambil bentuk
pernyataan terima kasih, amarah, kekecewaan, atau harapan. Misalnya di Sulawesi
Selatan, masyarakat akan merasa senang karena ada program kesehatan gratis,
pendidikan gratis dan masyarakat akan menyampaiakan rasa terima kasih kepada
pemerintah. Namun kekecewaan dan amarah bisa saja muncul apabila nantinya
program ini sudah tidak berjalan lagi.
3. Implementasi
Otonomi Daerah dalam Bidang Kesehatan
Otonomi
Daerah adalah kewajiban atau kewenangan yang diberikan kepada daerah untuk
mengatur dan mengelola sistem pemerintahan dan kepentingan masyarakat sendiri.
Salah satu Bentuk kewenangan yang diberikan kepada daerah otonom adalah
pelayanan kesehatan.
Standar
pelayanan kesehatan memang berlaku nasional namun secara umum kebanyakan di
daerah otonom mempertimbangkan aspek budaya masyarakat. sehingga penyesuaian
itulah disusun visi suatu pelayanan kesehatan berdasar pada kearifan lokal.
Dalam pencapaian visi itulah pemerintah daerah menggunakan kebijakan sendiri
dalam menerima kebutuhan pegawai/petugas kesehatan, distribusi petugas
kesehatan, pembangunan fasilitas kesehatan serta aksessibilatas ke sarana
kesehatan.
Sebagai
daerah otonom yang mengelola APBD sendiri sehingga transformasi anggaran ke
program kesehatan itu disesuaikan oleh kebutuhan daerah serta kebijakan
pemerintah daerah. Alokasi anggaran yang dikeluarkan adalah bentuk wewenang
bagi daerah otonom.
Misalnya
di Makassar, bahwa untuk meningkatkan derajat kesehatan secara maksimal bukan
hanya melalui upaya pengobatan melainkan upaya pencegahan. Sehingga sebagai
daerah otonom, maka muncul program promotor
kesehatan (penyuluh kesehatan) di kota Makassar. Kewenangan lain yang
dimiliki adalah bagaimana strategi daerah masing-masing untuk meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat.
Program
penyuluh kesehatan yang dilaksanakan, adalah salah satu bentuk program sesuai
dengan kebutuhan daerah/kota. ini menandakan dengan otonomi daerah, kebijakan
untuk membentuk suatu sistem demi tujuan peningkatan kesejahteraan masyarakat
di bidang kesehatan.
Contoh
lain, di Kabupaten Bantaeng ada suatu program dari Pemerintah Bupati yaitu
Siaga Bencana. program ini dimaksudkan seluruh armada kesehatan, pemadam
kebakaran harus siap siaga dalam mengantisipasi apabila ada panggilan dari masyarakat.
Jika menengok dari namanya, saga "bencana" maka mungkin dipikiran
kita hanya bencana alam yang disipa siagakan. Ternyata tidak, program tersebut
berlaku pada pasien yang lagi sakit yang tentunya membutuhkan armada.
Contoh
yang lebih nyata adalah, kesehatan gratis di Sulawesi Selatan. ini bentuk
nyata, karena dikeluarkan Pergub, yaitu:
a.
Pergub
No. 13 Tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Kesehatan Gratis serta
Petunjuk Tekni
b.
Pergub
No. 15 Tahun 2008 tentang Regionalisasi Sistem Rujukan Rumah Sakit serta
Petunjuk Teknis.
c.
PERDA
No. 2 Tahun 2009 tentang Kerjasama Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Gratis
di Provinsi Sulawesi Selatan.
********************************************************************************************************
Sehat dan Sakit (Tinjauan Sosial Budaya)
********************************************************************************************************
Sehat dan Sakit (Tinjauan Sosial Budaya)
A.
PENDAHULUAN
Pembangunan
kesehatan sebagai salah satu upaya pembangunan nasional diarahkan guna
tercapainya kesadaran, kemauan, dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap
penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Dan kesehatan
yang demikian yang menjadi dambaan setiap orang sepanjang hidupnya. Tetapi
datangnya penyakit merupakan hal yang tidak bisa ditolak meskipun kadang
-kadang bisa dicegah atau dihindari.
Konsep
sehat dan sakit sesungguhnya tidak terlalu mutlak dan universal karena ada
faktor -faktor lain di luar kenyataan klinis yang mempengaruhinya terutama
faktor social budaya. Kedua pengertian saling mempengaruhi dan pengertian yang
satu hanya dapat dipahami dalam konteks pengertian yang lain.
Banyak
ahli filsafat, biologi, antropologi, sosiologi, kedokteran, dan lain-lain
bidang ilmu pengetahuan telah mencoba memberikan pengertian tentang konsep
sehat dan sakit ditinjau dari masing-masing disiplin ilmu. Masalah sehat dan
sakit merupakan proses yang berkaitan dengan kemampuan atau ketidakmampuan
manusia beradap -tasi dengan lingkungan baik secara biologis, psikologis maupun
sosio budaya (1). UU No.23,1992 tentang Kesehatan menyatakan bahwa: Kesehatan
adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan
hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Dalam pengertian ini maka
kesehatan harus dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh terdiri dari
unsur–unsur fisik, mental dan sosial dan di dalamnya kesehatan jiwa merupakan
bagian integral kesehatan.
Menurut (world
Helath Organization) WHO, kesehatan adalah kondisi dinamis meliputi
kesehatan jasmani, rohani, sosial, dan tidak hanya terbebas dari penyakit,
cacat, dan kelemahan.
Definisi
sakit: seseorang dikatakan sakit apabila ia menderita penyakit menahun
(kronis), atau gangguan kesehatan lain yang menyebabkan aktivitas
kerja/kegiatannya terganggu.
Walaupun
seseorang sakit (istilah sehari -hari) seperti masuk angin, pilek, tetapi bila
ia tidak terganggu untuk melaksanakan kegiatannya, maka ia di anggap tidak
sakit.
Masalah
kesehatan merupakan masalah kompleks yang merupakan resultante dari
berbagai masalah lingkungan yang bersifat alamiah maupun masalah buatan
manusia, social budaya, perilaku, populasi penduduk, g enetika, dan sebagainya.
Derajat
kesehatan masyarakat yang disebut sebagai psycho socio somatic
health well being , merupakan resultante dari 4 faktor(3)yaitu:
1.
Environment atau lingkungan.
2.
Behaviour atau perilaku, Antara yang pertama dan kedua d ihubungkan dengan ecological
balance.
3.
Heredity atau keturunan yang dipengaruhi oleh populasi, distribusi
penduduk, dan sebagainya.
4.
Health care service berupa program kesehatan yang bersifat preventif, promotif,
kuratif, dan rehabilitatif.
Dari
empat faktor tersebut di atas, lingkungan dan perilaku merupakan faktor
yang paling besar pengaruhnya (dominan) terhadap tinggi rendahnya
derajat kesehatan masyarakat. Tingkah laku sakit, peranan sakit dan
peranan pasien sangat dipengaruhi oleh faktor -faktor seperti kelas sosial,
perbedaan suku bangsa dan budaya. Maka ancaman kesehatan yang sama
(yang ditentukan secara klinis), bergantung dari variabel-variabel
tersebut dapat menimbulkan reaksi yang berbeda di kalangan pasien.
Pengertian
sakit menurut etiologi naturalistik dapat dijelaskan dari segi
impersonal dan sistematik, yaitu bahwa sakit merupakan satu keadaan atau
satu hal yang disebabkan oleh gangguan terhadap sistem tubuh manusia.
Pernyataan
tentang pengetahuan ini dalam tradisi klasik Yunani, India, Cina,
menunjukkan model keseimbangan (equilibrium model) seseorang
dianggap sehat apabila unsur - unsur utama yaitu panas dingin dalam
tubuhnya berada dalam keadaan yang seimbang. Unsur-unsur utama ini
tercakup dalam konsep tentang humors, ayurveda dosha, yin dan yang.
Departemen
Kesehatan RI telah mencanangkan kebijakan baru berdasarkan paradigma
sehat. Paradigma sehat adalah cara pandang atau pola pikir
pembangunan kesehatan yang bersifat holistik, proaktif antisipatif,
dengan melihat masalah kesehatan sebagai masalah yang dipengaruhi
oleh banyak faktor secara dinamis dan lintas sektoral, dalam suatu wilayah
yang berorientasi kepada peningkatan pemeliharaan dan perlindungan terhadap
penduduk agar tetap sehat dan bukan hanya penyembuhan penduduk yang
sakit.
Pada
intinya paradigma sehat memberikan perhatian utama terhadap kebijakan
yang bersifat pencegahan dan promosi kesehatan, memberikan dukungan dan
alokasi sumber daya untuk menjaga agar yang sehat tetap sehat namun teta
p mengupayakan yang sakit segera sehat. Pada prinsipnya kebijakan
tersebut menekankan pada masyarakat untuk mengutamakan kegiatan kesehatan
daripada mengobati penyakit.
Telah
dikembangkan pengertian tentang penyakit yang mempunyai konotasi
biomedik dan sosio cultural. Dalam bahasa Inggris dikenal kata disease
dan illness sedangkan dalam bahasa Indonesia, kedua
pengertian itu dinamakan penyakit. Dilihat dari segi sosio cultural terdapat
perbedaan besar antara kedua pengertian tersebut. Dengan disease dimaksudkan
gangguan fungsi atau adaptasi dari proses-proses biologik dan
psikofisiologik pada seorang individu, dengan illness dimaksud
reaksi personal, interpersonal, dan kultural terhadap penyakit atau
perasaan kurang nyaman.
Para
dokter mendiagnosis dan mengobati disease, sedangkan pasien
mengalami illness yang dapat disebabkan oleh disease illness tidak
selalu disertai kelainan organic maupun fungsional tubuh.
B.
PEMBAHASAN
1.
Perspektif Usia Dalam Konteks
Sehat dan Sakit
Umur atau usia adalah
satuan waktu
yang mengukur waktu keberadaan suatu benda atau makhluk,
baik yang hidup maupun yang mati. Usia manusia adalah
waktu hidup di dunia yang digunakan untuk beraktifitas sebagai makhluk social.
Dalam keberadaanya, manusia di hadapkan oleh factor usia. Factor usia tersebut
yang juga membedakan tingkat kekuatan fisik tanpa terkecuali adalah kesehatan
itu sendiri.
Ada beberapa jenis perhitungan usia
manusia yaitu:
a.
Usia kronologis adalah usia
yang dimulai dari saat kelahiran seseorang sampai dengan waktu penghitungan
usia. Pada periode usia ini manusia melakukan berbagai aktifitas.
b.
Usia mental adalah perhitungan
usia yang didapatkan dari taraf kemampuan mental seseorang. Misalkan seorang
anak secara kronologis berusia empat tahun akan tetapi masih merangkak dan belum dapat berbicara
dengan kalimat lengkap dan menunjukkan kemampuan yang setara dengan anak
berusia satu
tahun, maka dinyatakan bahwa usia mental anak tersebut adalah satu tahun.
c.
Usia biologis adalah perhitungan
usia berdasarkan kematangan biologis yang dimiliki oleh seseorang.
Sigmund
Freud adalah dokter muda dari Wina mengemukaakan gagasan bahawa kesadaran itu
hanyalah sebagian kecil saja dari kehidupan mental, sedangkan bagian
terbesarnya adalah justru kesadaran atau alam tak sadaryang diibaratkan sebagai
gunung es yang terapung dimana bagian yang muncul dipermukaan air (alam sadar)
yang lebih kecil daripada bagian yang tenggelam (alam tak sadar). Menurut hukum
kelangsungan ,energi bisa berubah dari suatu keadaan atau bentuk kekeadaan yang
lainnya tetapi tidak akan hilang dari sistem komik secara keseluruhan , Freud
mengajukan gagasannya bahwa energi fisik bisa diubah menjadi energi psikis dan
sebaliknya adapun yang menjembatani energi fisik dengan kepribadian adalah
(kepribadian yang paling dasar) dengan naluri naluri.
Freud
adalah teoritisi pertama yang memusatkan perhatiannya kepada perkembangn
kepribadian dan menekankan pentingnya peran masa bayi dan awal-anak dalam
membentuk karakter seseorang. Freud yakin bahwa struktur dasar kepribadian
sudah terbentuk pada usia 5 tahun dan perkembangan kepribadian sesudah usia 5
tahun sebagian besar hanya merupakn elborasi dari struktur dasar tadi. Anehnya, Freud jarang sekali meneliti anak
secara langsung. Dia mendasari teorinya dari analisis mengeksplorasi jia pasien
antara lain dengan mengembalikan mereka ke pengalaman masa kanak-kanaknya.
Freud membagi perkembangan kepribadian menjadi 3
tahapan yakni tahap infatil (0 - 5 tahun), tahap laten (5 - 12 than) dan tahap
genital (> 12 tahun). Tahap infatil yang faling menentukan dalam membentuk
kepribadin, terbagi menjadi 3 fase, yakni fase oral, fase anal, dan fase falis.
Perkembangan kepribadian ditentukan oleh perkembangan insting seks, yang
terkait dengan perkembangan bilogis, sehingga tahp ini disebut juga tahap
seksual infatil. Perkembangan insting seks berarti perubahan kateksis seks dan
perkembangan bilogis menyiapkan bagian tubuh untuk dipilh menjadi pusat
kepuasan seksul (arogenus) zone). Pemberian nama fase-fase perkembangan infatil
sesuai dengan bagian tubuh – daerah erogen – yang menjadi kateksis seksual pada
fase itu. Pada tahap laten, impuls seksual mengalami represi, perhatian anak
banyak tercurah kepada pengembangan kognitif dan keterampilan. Aru sesudah itu,
secara bilogis terjadi perkembangan puberts yang membangunkan impuls seksual
dari represinya untuk berkembang mencapai kemasakan. Pada
umumnya kemasakan kepribadian dapat dicapi pada usia 20 tahun.
a. Fase Oral (usia 0 – 1 tahun)
Pada fase ini mulut merupakan daerah pokok
aktivitas dinamik atau daerah kepuasan seksual yang dipilih oleh insting
seksual. Makan/minum menjadi sumber kenikmatannya. Kenikmatan atau kepuasan
diperoleh dari ransangan terhadap bibir-rongga mulut-kerongkongan, tingkah laku
menggigit dan menguyah (sesudah gigi tumbuh), serta menelan dan memuntahkan
makanan (kalau makanan tidak memuaskan). Kenikmatan yang diperoleh dari
aktivitas menyuap/menelan (oral incorforation) dan menggigit (oral agression) dipandang
sebagai prototip dari bermacam sifat pada masa yang akan datang.
Kepuasan yang berlebihan pada masa oral akan
membentuk oran incorporation personality pada masa dewasa, yakni orang menjadi
senang/fiksasi mengumpulkan pengetahuan atau mengumpulkan harta benda, atau
gampang ditipu (mudah menelan perkataan orang lain0. Sebaliknya, ketidakpuasan
pada fase oral, sesudah dwasa orang menjadi tidak pernah puas, tamak (memakan
apa saja) dalam mengumpulkan harta.
Oral
agression personality ditandai oleh kesenangan
berdebat dan sikap sarkatik, bersumber dari sikap protes bayi (menggigit)
terhadap perlakuan ibunya dalam menyusui. Mulut sebagai daerah erogen, terbawa
sampai dewasa dalam bentuk yang lebih bervariasi, mulai dari menguyah permen
karet, menggigit pensil, senang makan, menisap rokok, menggunjing orang lain,
sampai berkata-kata kotor/sarkastik. Tahap ini secara khusus ditandai oleh berkembangnya perasaan
ketergantungan, mendapat perindungan dari orang lain, khususnya ibu. Perasaan
tergantung ini pada tingkat tertentu tetap ada dalam diri setiap orang, muncul
kapan saja ketika orang merasa cemas dan tidak aman pada masa yang akan datang.
b. Fase Anal (usia 1 – 3 tahun)
Pada fase ini dubur merupakan daerah pokok
ktivitas dinamik, kateksis dan anti kateksis berpusat pada fungsi eliminer
(pembuangankotoran). Mengeluarkan
faces menghilangkan perasaan tekanan yang tidak menyenangkan dari akumulasi
sisa makanan. Sepanjang tahap anal, ltihan defakasi (toilet training) memaksa
nak untuk belajar menunda kepuasan bebas dari tegangan anal. Freud yakin toilet
training adalah bentuk mulaidari belajar memuaskan id dan superego sekaligus,
kebutuhan id dalam bentuk kenikmatan sesudah defakasi dan kebutuhan superego
dalam bentuk hambatan sosial atau tuntutan sosial untuk mengontrol kebutuhan
defakasi. Semua hambatan bentuk kontrol diri (self control) dan penguasaan diri
(self mastery).
Berasal dari fase
anal, dampak toilet training terhadap kepribadian di masa depan tergantung
kepada sikap dan metode orang tua dalam melatih. Misalnya, jika ibu terlalu
keras, anak akan menahan facesnya dan mengalami sembelit. Ini adalah prototip
tingkahlaku keras kepala dan kikir (anal retentiveness personality). Sebaliknya
ibu yang membiarkan anak tanpa toilet training, akan membuat anak bebas
melampiaskan tegangannya dengan mengelurkan kotoran di tempat dan waktu yang
tidak tepat, yang di masa mendatang muncul sebagai sifat
ketidakteraturan/jorok, deskruktif, semaunya sendiri, atau kekerasa/kekejaman
(anal exspulsiveness personality). Apabila ibu bersifat membimbing dengan kasih
sayang (dan pujian kalau anak defakasi secara teratur), anak mendapat
pengertian bahwa mengeluarkan faces adalah aktivitas yang penting, prototif
dari, sifat kreatif dan produktif.
c.
Fase Fhalis (usia 3 –
5/6 tahun)
Pada fase ini alat
kelamin merupakan daerah erogen terpenting. Mastrubasi menimbulkan kenikmatan
yang besar. Pada saat yang sama terjadi peningkatan gairah seksual anak kepada
orang tuanya yang mengawali berbagai perganian kateksis obyek yang penting.
Perkembangan terpenting pada masa ini adalah timbulnya Oedipus complex, yang
diikuti fenomena castration anxiey (pada laki-laki) dan penis envy (pada
perempuan).
Odipus kompleks
adalah kateksis obyek kepada orang tua yang berlawanan jenis serta permusuhan
terhadap orang tua sejenis. Anak laki-laki ingin memiliki ibunya dan
menyingkirkan ayahnya; sebaliknya anak perempuan ingin memilki ayahnya dan
menyingkirkan ibunya.
Pada mulanya, anak
(laki dan perempuan) sama-sama mencintai ibuny yang telah memenuhi kebutuhan mereka
dan memandang ayah sebagai saingan dalam merebut kasih sayang ibu. Pada anak
laki-laki, persaingan dengan ayah berakibat anak cemas kalau-kalau ayah memakai
kekuasaannya untuk memenangkan persaingan merebut ibunya. Dia cemas penisnya
akan dipotong oleh ayahnya. Gejala ini disebut cemas dikebiri atau
castrationanxiety. Kecemasan inilah yang kemudian mendorong laki-laki
mengidentifikasi iri dengan ayahnya. Identifikasi ini
mempunyai beberpa manfaat :
a.
Anak secara tidak langsung
memperoleh kepuasan impuls seksual kepada ibunya, seperti kepuasan ayahnya.
b.
Perasaan erotik kepada ibu
9yang berbahaya) diubah menjadi sikap menurut/sayang kepada ibu.
c.
Identifikasi kemudian menjadi
sarana tepenting untuk mengembangkan superego adalah warisan dari oedipus
complex.
d.
Identifikasi
menjadi ritual akhir dari odipus kompleks, yang sesudah itu ditekan(repressed)
ke ketidaksadaran.
Pada anak
perempuan, rasa sayang kepada ibu segera berubah menjadi kecewa dan benci
sesudah mengetahui kelaminnya berbeda dengan anak laki-laki. Ibuya dianggap
bertanggung jawab tergadap kastrasi kela innya, sehingga anak perempuan itu
mentransfer cintanya kepada ayahnya yang memiliki organ berharga (yang juga
ingin dimilikinya). Tetapi
perasaan cinta itu bercampur dengan perasan iri penis (penis elvy) baik kepada
ayah maupun kepada laki-laki secara umum. Tidak seperti pada laki-laki,
odipuskompleks pada wanita tidak direpres, cinta kepada ayah tetap menetap
walaupun mengalami modifikasi karena hambatan realistik pemuasan seksual itu
sendiri. Perbedaan hakekat odipus kompleks pada laki-laki dan wanita ini
(disebut oleh pakar psikoanalisis pengikut freud : electra complex) merupakan
dasar dari perbedaan psikologik di antara pria dan wanita. Electra complex
menjadi reda ketika gadis menyerah tidak lagi mengembangkan seksual kepad
ayahnya, dan mengidentifikasikan diri kembali kepada ibunya. Proses peredaan ini berjalan lebih lambat
dibanding pada anak laki-laki dan juga kurang total atau sempurna. Enerji untuk
mengembangkan superego adalah enerji yang semula dipakai dalam proses odipus.
Penyerahan enerji yang lamban pada wanita membuat superego wanita lebih
lemah/lunak, lebih fleksibel, dibanding superego laki-laki. Perbadinganantara odipus kompleks laki-laki dan perempuan,
diikhtisarkan pada tabel berikut:
Anak Laki-laki
Identifikasi/mencintai ibu
Benci ayah yang menjadi saingan
Cemas dikebiri
Identiikasi kepada ayah
Oedipus berhenti seketika
Superego berkembang kuat
|
Anak Laki-laki
Identifikasi/mencintai ibu
Fenis envy
Benci ibu – cinta kepada ayah
Identiikasi kepada ibu
Oedipus kompleks berhenti secara teratur
Superego
berkembang lemah
|
Ikhtisar Oedips Compleks pada anak-anak laki-laki dan perempuan
d.
Fase Latent
(usia 5/6 – 12/13 tahun)
Dari usia 5 atau 6 tahun sampai remaja, anak mngalami periode
perbedaan impuls seksual, disebut periode laten. Menurut Freud, penurunan minat
seksual itu akibat dari tidak adanya daerah erogen baru yang dimunculkan oleh
perkembangan biologis. Jadi
fase laten lebih sebagai fenomena biologis, alih-lih bgian dari perkembangan
psikoseksual. Pada fase laten ini anak mengembangkan kemampuan sublimasi, yakni
mengganti kepuasanlibido dengan kepuasan nonseksual, khususnya bidang
intelektual, atletik, keterampilan dan hubungan teman sebaya. Fase laten juga
ditandai dengan percepatan pembentukan super ego; orang tua bekerjasama dengan
anak berusaha merepres impuls seks agar enerji dapat dimanfaatkan
sebesar-besarnya untuk sublimasi dan pembentukan superego. Anak menadi lebih mudah mmpelajari sesuatu dibandingkan dengan masa
sebelum da sesudahnya (masa pubertas).
e.
Fase Genikal (usia 12/13 –
dewasa)
Fase ini dimulai dengan perubahan biokimia dan fisiologi dalam diri
remaja. Sistem endoktrin memproduksi hormon-hormon yang memicu pertumbuhan
tanda-tanda seksual sekunder (suara, rambut, buah dada, dll) dan pertumbuhan
tandasesual primer. Impuls
pregenital bangun kembali dan membawa aktivitas dinamis yang harus diadaptasi,
untuk mencapai perkembangan kepribadian yang stabl. Pada fase falis, kateksis
genital mempunyai sifat narkistik; individu mempunyai kepuasan dari
perangsangan dan manipulasi tubuhnya sendiri, dan orang lain diingkan hanya
karena memberikan bentuk-bentuk tambahan dari kenikmatan jasmaniah. Pada fase
genital, impuls seks itu mulai disalurkan ke obyek di luar, seperti;
berpartisipasi dalam kegiatan kelompok, menyiapkan karir, cinta lain jenis,
perkawinan dan keluarga. Terjadi
perubahan dari anak yang narkistik menjadi dewasa yang berorientasi sosial,
realistik dan altruistik.
Fase genital berlanjut sampai orang tutup
usia, dimana puncak perkembangan seksual dicapai ketika orang dewasa mengalami
kemasakan kepibadian. Ini ditandai dengan kemasaka tanggung jawab seksual
sekaligus tanggung jawab sosial, mengalami kepuasan melalui hubungan cinta
heteroseksual tanpa diikuti dengan perasaan berdosa atau perasaan bersalah.
Pemasan impuls libido melalui hubungan seksual memungkinkan kontrol fisiologis
terhadap impuls genital itu; sehinggaakan membebaskan begitu banyak enerji
psikis yang semula dipakai untuk mengontrol libido, merepres perasaan berdosa,
dan dipakai dalam konflik antara id-ego-superego dalam menagani libido itu.
Enerji itulah yang kemudian dipakai untuk aktif menangani masalah-masalah
kehidupan dewasa; belajar bekerja, menunda kepuasan, menjadi lebih bertanggung
jawab. Penyaluran kebutuhan insting ke obyek di luar yang altruistik itu telah
menjadi cukup stabil, dalam bentuk kebiasaan-kebiasaan melakukan
pemindahan-pemindahan,sublimasi-sublimasi dan identifikasi-identifikasi.
Berikut beberapa gambaran tingkah laku dewasa yang masak, ditinjau dari
dinamika kepribadian Freud :
1)
Menunda
kepuasan : dilakukan karena obyek pemuas yang belum tersedia, tetapi lebih
sebagai upaya memperoleh tingkat kepuasan yang lebih besar pada masa yang akan
datang.
2)
Tanggung
jawab : kontrol tingkah laku dilakukan oleh superego berlangsung efektif, tidak
lagi harus mendapat bantuan kontrol dari lingkungan.
3)
Pemindahan/sulimasi
: mengganti kepuasan seksual menjadi kepuasan dalam bidang seni, budaya dan keindahan.
4)
Identifikasi
memiliki tujuan-tujuan kelompok, terlibat dalam organisasi sosial, politi dan
kehidupan sosial yang harmonis.
Perkembangan kepribadian menurut pandangan Carl Gustav Jung lebih lengkap dibandingkan dengan Freud. Jung beranggapan bahwa semua
peristiwa disebabkan oleh sesuatu yang terjadi di masa lalu (mekanistik) dan
kejadian sekarang ditentukan oleh tujuan (purpose). Prinsip mekanistik akan
membuat manusia menjadi sengsara karena terpenjara oleh masa lalu. Manusia
tidak bebas menentukan tujuan atau membuat rencana karena masa lalu tidak dapat
diubah. Sebaliknya, prinsip purposif memubat orang mempunyai perasan penuh
harapan, ada sesuatu yang membuat orang berjuang dan bekerja. Dari keduanya
dapat diambil sisi positifnya, kegagalan di masa lalu bukan dijadikan beban
tapi dijadikan pengalaman yang kemudian digunakan sebagai stimuli untuk belajar
lebih baik dari kegagalan tersebut. Terlepas dari kegagalan seseorang harus
memiliki angan, impian dan harapan, hal inilah yang kemudian mengarahkan pada
tujuan yang akan diraih di masa mendatang.
Tahap-tahap perkembangan menurut Jung terdiri atas
4 tahap. Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.
Usia
anak (Childhood). Usia anak dibagi menjadi 3 tahap, yakni anarkis pada anak
kesadaran masaih kacau pada usia 0 – 6 tahun, tahap monarkis yakni anak
ditandai dengan perkembangan ego, mulai berfikir verbal dan logika pada usia 6
– 8 tahun, tahap dualistik yakni anak dapat berfikir secara obyektif dan
subyektif terjadi pada usia 8 – 12 tahun.
b.
Usia
Pemuda. Pemuda berjuang untuk mandiri secara fisik dan psikis dari orangtuanya.
c.
Usia
Pertengahan. Ditandai dengan aktualisasi diri, biasanya sudah dapat
menyesuaikan diri dengan lingkungannya, memiliki pekerjaan, kawin, punya anak
dan ikut dalam kegiatan sosial.
d.
Usia Tua. Fungsi jiwa sebagian
besar bekerja secara tak sadar, fikiran dan kesadaran ego mulai tenggelam.
2.
Konsep Sehat Sakit
Menurut Budaya Masyarakat
Istilah sehat mengandung banyak muatan kultural, social dan
pengertian profesional yang beragam. Dulu dari sudut pandangan
kedokteran, sehat sangat erat kaitannya dengan kesakitan dan penyakit.
Dalam kenyataannya tidaklah seseder - hana itu, sehat harus dilihat dari
berbagai aspek. WHO melihat sehat dari berbagai aspek.
Definisi WHO (1981): Health is a state of complete
physical, mental and social well -being, and not merely the
absence of disease or infirmity. WHO mendefinisikan pengertian sehat
sebagai suatu keadaan sempurna baik jasmani, rohani, maupun
kesejahteraan social seseorang. Sebatas mana seseorang dapat dianggap
sempurna jasmaninya ?
Oleh para ahli kesehatan, antropologi kesehatan di pandangsebagai disiplin biobudaya yang memberi
perhatian pada aspek-aspek biologis dan sosial budaya dari tingkah laku
manusia, terutama tentang cara-cara interaksi antara keduanya sepanjang
sejarah kehidupan manusia yang mempengaruhi kesehatan dan penyakit.
Penyakit sendiri ditentukan oleh budaya: hal ini karena penyakit merupakan pengakuan
sosial bahwa seseorang tidak dapat menjalankan peran normalnya secara
wajar.
Cara hidup dan gaya hidup manusia merupakan fenomena yang
dapat dikaitkan dengan munculnya berbagai macam penyakit, selain itu
hasil berbagai kebudayaan juga dapat menimbulkan penyakit. Masyarakat
dan pengobat tradisional menganut dua konsep penyebab sakit, yaitu: Naturalistik dan Personalistik.
Penyebab bersifat Naturalistik yaitu seseorang menderita
sakit akibat pengaruh lingkungan, makanan (salah makan), ke - biasaan
hidup, ketidak seimbangan dalam tubu h, termasuk juga kepercayaan panas
dingin seperti masuk angin dan penyakit
bawaan. Konsep sehat sakit yang dianut pengobat tradisional (Battra) sama dengan yang dianut
masyarakat setempat, yakni suatu
keadaan yang berhubungan dengan keadaan badan atau kondisi tubuh kelainan-kelainan serta gejala yang dirasakan. Sehat bagi seseorang berarti suatu
keadaan yang normal, wajar,
nyaman, dan dapat melakukan aktivitas sehari –hari dengan gairah.
Sedangkan sakit dianggap sebagai suatu keadaan badan yang kurang menyenangkan, bahkan
dirasakan sebagai siksaan sehingga
menyebabkan seseorang tidak dapat menjalankan aktivitas sehari-hari seperti halnya orang yang sehat.
Sedangkan konsep Personalistik
menganggap munculnya penyakit (illness) disebabkan oleh
intervensi suatu agen aktif yang dapat berupa makhluk bukan manusia (hantu,
roh, leluhur atau roh jahat), atau makhluk manusia (tukang sihir, tukang tenung).
3.
Perspektif Etnis Dalam Konsep Sehat dan Sakit
Menelusuri nilai budaya, misalnya mengenai pengenalan kusta dan cara
perawatannya. Kusta telah dik enal oleh etnik Makasar sejak lama. Adanya
istilah kaddala sikuyu (kusta kepiting) dan kaddala massolong (kusta
yang lumer), merupakan ungkapan yang mendukung bahwa kusta secara endemik telah
berada dalam waktu yang lama di tengah-tengah masyarakat tersebut.
Hasil penelitian kualitatif dan kuantitatif atas nilai - nilai
budaya di Kabupaten Soppeng, dalam kaitannya dengan penyakit kusta (Kaddala,Bgs.)
di masyarakat Bugis menunjukkan bahwa timbul dan diamalkannya leprophobia secara
ketat karena menurut salah seorang tokoh budaya, dalam nasehat perkawinan
orang-orang tua di sana, kata kaddala ikut tercakup di dalamnya.
Disebutkan bahwa bila terjadi pelanggaran melakukan hubungan intim
saat istri sedang haid, mereka (kedua mempelai) akan terkutuk dan menderita
kusta/kaddala. Ide yang bertujuan guna terciptanya moral yang agung di keluarga
baru, berkembang menuruti proses komunikasi dalam masyarakat dan menjadi konsep
penderita kusta sebagai penanggung dosa. Pengertian penderita sebagai akibat
dosa dari ibu-bapak merupakan awal derita akibat leprophobia.
Rasa rendah diri penderita dimulai dari rasa rendah diri keluarga
yang merasa tercemar bila salah seorang anggota keluarganya menderita kusta.
Dituduh berbuat dosa melakukan hubungan intim saat istri sedang haid bagi
seorang fanatic Islam dirasakan sebagai beban trauma psikosomatik yang sangat
berat.
Orang tua, keluarga sangat menolak anaknya didiagnosis kusta. Pada
penelitian Penggunaan Pelayanan Kesehatan Di Propinsi Kalimantan Timur dan Nusa
Tenggara Barat (1990), hasil diskusi kelompok di Kalimantan Timur menunjukkan bahwa
anak dinyatakan sakit jika menangis terus, badan berkeringat, tidak mau makan,
tidak mau tidur, rewel, kurus kering. Bagi orang dewasa, seseorang dinyatakan
sakit kala sudah tidak bisa bekerja, tidak bisa berjalan, tidak enak badan,
panas dingin, pusing, lemas, kurang darah, batuk - batuk, mual, diare.
Sedangkan hasil diskusi kelompok di Nusa Tenggara Barat menunjukkan
bahwa anak sakit dilihat dari keadaan fisik tubuh dan tingkah lakunya yaitu
jika menunjukkan gejala misalnya panas, batuk pilek, mencret, muntah -muntah,
gatal, luka, gigi bengkak, badan kuning, kaki dan perut bengkak.
Seorang pengobat tradisional yang juga menerima pandangan kedokteran
modern, mempunyai pengetahuan yang menarik mengenai masalah sakit-sehat.
Baginya, arti sakit adalah sebagai berikut: sakit badaniah berarti ada tanda - tanda
penyakit di badannya seperti panas tinggi, penglihatan lemah, tidak kuat
bekerja, sulit makan, tidur tergan ggu, dan badan lemah atau sakit, maunya
tiduran atau istirahat saja.Pada penyakit batin tidak ada tanda -tanda di
badannya, tetapi bisa diketahui dengan menanyakan pada yang gaib.
Pada orang yang sehat, gerakannya lincah, kuat bekerja, suhu badan
normal, makan dan tidur normal, penglihatan terang, sorot mata cerah, tidak
mengeluh lesu, lemah, atau sakit - sakit badan.
Sudarti (1987) menggambarkan secara deskriptif persepsi masyarakat
beberapa daerah di Indonesia mengenai sakit dan penyakit; masyarakat menganggap
bahwa sakit adalah keadaan individu mengalami serangkaian gangguan fisik yang
menim - bulkan rasa tidak nyaman. Anak yang sakit ditandai dengan tingkah laku
rewel, sering menangis dan tidak nafsu makan. Orang dewasa dianggap sakit jika
lesu, tidak dapat bekerja, kehilangan nafsu makan, atau "kantong
kering" (tidak punya uang).
Selanjutnya masyarakat menggolongkan penyebab sakit ke dalam 3
bagian yaitu :
a. Karena pengaruh gejala alam (panas, dingin) terhadap tubuh manusia
b. Makanan yang diklasifikasikan ke dalam makanan panas dan dingin.
c. Supranatural (roh, guna-guna, setan dan lain-lain.).
Untuk mengobati sakit yang termasuk
dalam golongan pertama dan ke dua, dapat digunakan obat -obatan, ramuanramuan, pijat,
kerok, pantangan m akan, dan bantuan tenaga kesehatan. Untuk penyebab sakit
yang ke tiga harus dimintakan bantuan dukun, kyai dan lain-lain. Dengan demikian
upaya penanggulangannya tergantung kepada kepercayaan mereka terhadap penyebab
sakit.
Beberapa contoh penyakit pada bayi
dan anak sebagai berikut :
a.
Sakit demam dan panas: Penyebabnya
adalah perubahan cuaca, kena hujan, salah makan, atau masuk angin.
Pengobatannya adalah dengan cara mengompres dengan es, oyong, labu putih yang
dingin atau beli obat influensa. Di Indramayu dikatakan penyakit adem meskipun
gejalanya panas tinggi, supaya panasnya turun.
b.
Penyakit tampek (campak)
disebut juga sakit adem karena gejalanya badan panas.
c.
Sakit mencret (diare): Penyebabnya
adalah salah makan, makan kacang terlalu banyak, makan makanan pedas, makan
udang, ikan, anak meningkat kepandaiannya, susu ibu basi, encer, dan lain - lain.
Penanggulangannya dengan obat
tradisional misalkan dengan pucuk daun jambu dikunyah ibunya lalu diberikan
kepada anaknya (Bima Nusa Tenggara Barat) obat lainnya adalah Larutan Gula
Garam (LGG), Oralit, pil Ciba dan lain -lain.
Larutan Gula Garam sudah dikenal hanya proporsi campuran - nya tidak
tepat.
d.
Sakit kejang-kejang: Masyarakat
pada umumnya menyatakan bahwa sakit panas dan kejang-kejang disebabkan oleh
hantu. Di Sukabumi disebut hantu gegep, sedangkan di Sumatra Barat disebabkan
hantu jahat. Di Indramayu pengobatannya adalah dengan dengan pergi ke dukun
atau memasukkan bayi ke bawah tempat tidur yang ditutupi jaring.
e.
Sakit tampek (campak): Penyebabnya
adalah karena anak terkena panas dalam, anak dimandikan saat panas terik, atau
kesambet. Di Indramayu ibu-ibu mengobatinya dengan membalur anak dengan asam kawak,
meminumkan madu dan jeruk nipis atau memberikan daun suwuk, yang menurut
kepercayaan dapat mengisap penyakit.
a.
Kejadian Penyakit
Penyakit merupakan suatu fenomena
kompleks yang berpengaruh negatif terhadap kehidupan manusia. Perilaku dan cara
hidup manusia dapat merupakan penyebab bermacam - macam penyakit baik di zaman primitif
maupun di masyarakat yang sudah sangat maju peradaban dan kebudayaannya.
Ditinjau dari segi biologis penyakit
merupakan kelainan berbagai organ tubuh manusia, sedangkan dari segi kemasya - rakatan
keadaan sakit dianggap sebagai peny impangan perilaku dari keadaan sosial yang
normatif. Penyimpangan itu dapat disebabkan oleh kelainan biomedis organ tubuh
atau lingkungan manusia, tetapi juga dapat disebabkan oleh kelainan emosional
dan psikososial individu bersangkutan.
Faktor emosional dan psikososial ini
pada dasarnya merupakan akibat dari lingkungan hidup atau ekosistem manusia dan
adat kebiasaan manusia atau kebudayaan.
Konsep kejadian penyakit menurut
ilmu kesehatan bergantung jenis penyakit. Secara umum konsepsi ini ditentukan oleh
berbagai faktor antara lain parasit, vektor, manusia dan lingkungannya.
Para ahli antropologi kesehatan yang
dari definisinya dapat disebutkan berorientasi ke ekologi, menaruh perhatian
pada hubungan timbal balik antara manusia dan lingkungan alamnya, tingkah laku
penyakitnya dan cara -cara tingkah laku penyakitnya mempengaruhi evolusi
kebudayaannya melalui proses umpan balik (Foster, Anderson, 1978).
Penyakit dapat dipandang sebagai
suatu unsur dalam lingkungan manusia, seperti tampak pada ciri sel-sabit (sickle-cell)
di kalangan penduduk Afrika Barat, suatu perubahan evolusi yang adaptif, yang
memberikan imunitas relatif terhadap malaria. Ciri sel sabit sama sekali bukan
ancaman, bahkan merupakan karakteristik yang diing inkan karena memberikan proteksi
yang tinggi terhadap gigitan nyamuk Anopheles.
Bagi masyarakat Dani di Papua,
penyakit dapat merupakan simbol sosial
positif, yang diberi nilai -nilai tertentu. Etiologi penyakit dapat dijelaskan
melalui sihir, tetapi juga sebagai akibat dosa. Simbol sosial juga dapat
merupakan sumber penyakit. Dalam peradaban modern, keterkaitan antara simbol-simbol
sosial dan risiko kesehatan sering tampak jelas, misalnya remaja merokok.
Suatu kajian hubungan antara
psikiatri dan ant ropologi dalam konteks perubahan sosial ditulis oleh Rudi
Salan (1994) berdasarkan pengalaman sendiri sebagai psikiater; salah satu kasusnya
sebagai berikut: Seorang perempuan yang sudah cukup umur reumatiknya diobati
hanya dengan vitamin dan minyak ikan saja dan percaya penyakitnya akan sembuh.
Menurut pasien penyakitnya
disebabkan karena "darah kotor" oleh karena itu satu-satunya jalan
penyembuhan adalah dengan makan makanan yang bersih , yaitu `mutih' (ditambah
vitamin seperlunya agar tidak kekurang an vitamin) sampai darahnya menjadi bersih
kembali. Bagi seorang dokter pendapat itu tidak masuk akal, tetapi begitulah
kenyataan yang ada dalam masyarakat.
b.
Perilaku Sehat Dan
Perilaku Sakit
Perilaku sakit diartikan sebagai
segala bentuk tin dakan yang dilakukan oleh individu yang sedang sakit agar mem
peroleh kesembuhan, sedangkan perilaku sehat adalah tindakan yang dilakukan
individu untuk memelihara dan meningkatkan kesehatannya, termasuk pencegahan
penyakit, perawatan kebersihan diri, penjagaan kebugaran melalui olah raga dan
makanan bergizi.
Perilaku sehat diperlihatkan oleh
individu yang merasa dirinya sehat meskipun secara medis belum tentu mereka
betul-betul sehat. Sesuai dengan persepsi tentang sakit dan penyakit maka
perilaku sakit dan perilaku sehat pun subyektif sifatnya. Persepsi masyarakat
tentang sehat dan sakit ini sangatlah dipengaruhi oleh unsur pengalaman masa lalu
di samping unsur sosial budaya. Sebaliknya petugas kesehatan berusaha sedapat
mungkin menerapkan kreter ia medis yang obyektif berdasarkan gejala yang tampak
guna mendiagnosis kondisi fisik individu.
c.
Persepsi Masyarakat
Persepsi masyarakat mengenai
terjadinya penyakit berbeda antara daerah yang satu dengan daerah yang lain,
karena tergantung dari kebudayaan yang ada dan berkembang dalam masyarakat
tersebut. Persepsi kejadian penyakit yang berlainan dengan ilmu kesehatan
sampai saat ini masih ada di masyarakat; dapat turun dari satu generasi ke
generasi berikutnya dan bahkan dapat berkembang luas.
Berikut ini contoh persepsi
masyarakat tentang penyakit malaria, yang saat ini masih ada di beberapa daerah
pedesaan di Papua (Irian Jaya). Makanan pokok penduduk Papua adalah sagu yang
tumbuh di daerah rawa-rawa. Selain rawa-rawa, tidak jauh dari mereka tinggal
terdapat hutan lebat.
Penduduk desa tersebut beranggapan bahwa
hutan itu milik penguasa gaib yang dapat menghukum setiap orang yang melanggar
ketentuannya.
Pelanggaran dapat berupa menebang,
membabat hutan untuk tanah pertanian, dan lain-lain akan diganjar hukuman
berupa penyakit dengan gejala demam tinggi, menggigil, dan muntah. Penyakit
tersebut dapat sembuh dengan cara minta ampun kepada penguasa hutan, kemudian memetik
daun dari pohon tertentu, dibuat ramuan untuk di minum dan dioleskan ke seluruh
tubuh penderita.
Dalam beberapa hari penderita akan
sembuh. Persepsi masyarakat mengenai penyakit diperoleh dan ditentukan dari
penuturan sederhana dan mudah secara turun temurun. Misalnya penyakit akibat
kutukan Allah, makhluk gaib, roh-roh jahat, udara busuk, tanaman berbisa,
binatang, dan sebagainya.
Pada sebagian penduduk Pulau Jawa,
dulu penderita demam sangat tinggi diobati dengan cara menyiram air di malam
hari. Air yang telah diberi ramuan dan jampi-jampi oleh dukun dan pemuka
masyarakat yang disegani digunakan sebagai obat malaria.
C. Kesimpulan
Cara dan gaya hidup manusia, adat
istiadat, kebudayaan, kepercayaan bahkan seluruh peradaban manusia dan ling - kungannya
berpengaruh terhadap penyakit. Secara fisiologis dan biologis tubuh manusia
selalu berinteraksi dengan lingkungannya.
Manusia mempunyai daya adaptasi
terhadap lingkungan yang selalu berubah, yang sering membawa serta penyakit
baru yang belum dikenal atau perkembangan/perubahan penyakit yang sudah ada. Kajian
mengenai konsekuensi kesehatan perlu memperhatikan konteks budaya dan sosial
masyarakat .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA